BENDERRA, 27/4/17 (Jakarta): Konsumen berpotensi dirugikan akibat kebijakan membatasi kuota taksi online.
Karenanya, pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendesak kebijakan itu dibatalkan.
Deputi KPPU, Taufik Ahmad, mengatakan, kebijakan kuota sebaiknya dihapuskan karena dinilai merugikan kepentingan masyarakat.
“Kami merasa kebijakan itu lebih baik dihapuskan saja, tidak perlu ada pembatasan kuota yang muncul setelah polemik antara angkutan umum konvensional dan online,” ujar Taufik, di Jakarta, Kamis (27/4/17).
Penerapan kuota itu, disebutkannya, tidak mencerminkan semangat pelayanan inovasi yang baik kepada masyarakat. Pemerintah awalnya menetapkan kuota demi alasan kenyamanan dan keamanan karena hanya pemilik kuota berstandar baik yang bisa terus bertahan. Namun, kata Taufik, kebijakan itu tidak menjamin realisasi di lapangan. Apalagi tidak ada lembaga independen yang memiliki otoritas untuk menentukan penetapan kuota tersebut.
“Sebagai pengambil kebijakan, pemerintah diharapkan bisa melakukan kuantifikasi kebutuhan dengan tepat, sehingga kebutuhan masyarakat terpenuhi, tambahnya.
Pembatasan kuota, kata Taufik, justru malah akan menambah potensi masalah yang mungkin terjadi yaknk naiknya harga akibat kekurangan pasokan, apalagi lamanya waktu tunggu juga menjadi masalah inefisiensi waktu perjalanan.
“Semangat berinovasi memberikan pelayanan terbaik jangan malah dibatasi, kami menyarankan kebijakan ini dihapuskan demi kepentingan masyarakat lebih luas.”
“Itu dampak terhadap industri akibat ketidakmampuan regulator mengantisipasi jika ada permintaan yang naik, jadi kami berharap pembatasan kuota sebaiknya ditiadakan,” kata Taufik.
Sebelumnya, pemerintah berencana mengatur operasional taksi online dengan membatasi kuota kendaraan yang boleh beroperasi setiap hari agar tidak ada lagi gesekan antara pelaku taksi online dengan konvensional.
Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 26 Tahun 2017 tentang Taksi Online yang merupakan hasil revisi Permenhub Nomor 32 Tahun 2016. Namun aturan ini bertentangan dengan semangat pemerintah pusat yang menginginkan pengembangan industri berbasis teknologi. Demikian dilansir dari ‘Suara Pembaruan’, didukung dokumentasi foto istimewa ‘JR Pro Jakarta’. (B-SP/jr)



