BENDERRA, 23/5/17 (Yogyakarta): Universitas Gadjah Mada kembali meneguhkan dirinya sebagai kampus kaum nasionalis, patriotis dan pro Pancasila.
Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dwikorita Karnawati pun memimpin deklarasi peneguhan universitas negeri tertua di Indonesia itu sebagai Kampus Pancasila dalam sebuah acara di halaman Balairung UGM, Senin (22/5/17).
Dalam deklarasi, rektor menegaskan, perjalanan UGM sejak berdiri tahun 1949 dimulai dari keputusan menjadi universitas yang nasionalis dan patriotis.
Nasionalis berarti menghormati dan menerima tanah air, bahasa dan budaya Indonesia sebagai masyarakat majemuk.
Patriotis berarti mendukung norma dan nilai konstitusi Indonesia yang demokratis berdasarkan Pancasila.
“Sivitas akademika UGM sejak dulu hingga kini setia dan bangga pada keputusan tersebut,” tandas Dwikorita, yang bulan ini akan digantikan rektor baru Prof Panut Mulyono MEng.
Dikatakan, UGM terus berkomitmen memelihara suasana damai dalam kebinekaan dan kerja sama sosial di kalangan sivitas akademika. Selaras dengan ini, UGM mendorong partisipasi sivitas akademika yang inklusif dalam berbagai kegiatan, baik di kelas, kampus, maupun masyarakat.
Dikatakan rektor, tidak perlu lagi memperdebatkan dan berbicara Pancasila. Karena yang terbaik dan penting ialah praktik nyata dalam hidup sehari-hari.
Budayawan Emha Ainun Najib, yang juga menghadiri acara deklarasi tersebut, mengatakan, Pancasila merupakan kumpulan filsafat. “Karenanya, belajar dari sila pertama saja bisa, sila kedua saja bisa dan sila berapapun bisa,” urainya.
Pancasila, menurutnya, harus terbuka terhadap penafsiran-penafsiran.
“Yang penting bukan adu kebenaran soal penafsiran, namun lebih pada menjadi tafsir apapun. Yang penting janji outputnya harus kekompakan, kebaikan dan keamanan bersama. Terserah mau berpendapat seperti apa, tetap tidak boleh mencuri, tidak boleh menyakiti orang, dan tetap bersatu dengan orang lain,” katanya.
Sedangkan Dosen Antopologi UGM, Dr Pudjo Semedi berpendapat, Pancasila untuk orang-orang yang terpinggirkan, berarti sila kelima Pancasila menjadi satu-satunya gantungan hidup mereka.
Selain itu, di dalam zaman neoliberalisme, sila Keadilan Sosial bagi rakyat Indonesia makin relevan. Demikian ‘Suara Pembaruan’ memberitakan.
Bubarkan HTI
Masih dari Yohgyakarta, Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Dr Agus Burhan menjawab tuntutan mahasiswa dan alumni dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) pembersihan kampus tersebut dari gerakan keagamaan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Dosen dan/atau mahasiswa yang terlibat aktif dalam HTI akan dikenakan sanksi.
“Kami sedang melakukan pendataan dan analisis, dosen-dosen maupun mahasiswa yang terlibat dalam HTI, jika sudah dipastikan dalam rapat senat, maka dosen-dosen tersebut akan mendapatkan sanksi akademik,” tandas Agus di Kampus ISI, Sewon, Bantul, Senin (22/5/17).
Meski tidak menyebutkan identitas dosen ISI Yogyakarta yang bergabung dengan HTI, Burhan mengakui, berdasarkan laporan mahasiswa, beberapa dosen memang mencampur-adukkan pengajaran dan dakwah. Bahkan melarang mahasiswa menggambar objek yang dianggap salah dalam aliran agama tertentu.
Disebutnya, akan ada beberapa sanksi yang bisa dijatuhkan kepada dosen tersebut jika terbukti menyebarkan paham Ormas terlarang di kampus. Apalagi sebelumnya ditengarai salah satu dosen diketahui menyebarkan paham yang diusung HTI di Masjid Kampus.
Menanggapi aksi damai yang disampaikan mahasiswa, Agus menyatakan, aksi itu sebagai respons atas permasalahan toleransi di Indonesia.
“ISI Yogya mendukung keputusan pemerintah mewujudkan pembubaran HTI,” ujar Agus saat menyampaikan orasi di atas panggung.
Pimpinan ISI bersama Kopertis DIY telah sepakat untuk mengantisipasi keberadaan dan penyebaran ideologi HTI di kampus, sekaligus memperkuat kesatuan NKRI dengan membentuk gerakan anti-radikalisme.
“Kehidupan akademik akan dibuat berdasarkan Pancasila kembali,” tegasnya.
Sementara itu, perwakilan alumni Yoyok Suryo menyatakan, aksi Budaya Nusantara Waspada (Abunawas) tersebut, merupakan upaya untuk mendukung sikap pemerintah terkait pelarangan terhadap HTI.
Dikatakannya, kegiatan ini merupakan bagian dari aksi yang digelar tahun lalu.
“Ini langkah konkret mendukung langkah Pemerintah membubarkan HTI,” katanya lagi.
Yoyok juga meminta pihak kampus untuk membersihkan kampus dari organisasi anti-Pancasila yang lain.
“HTI di dalam ISI sudah dalam tahap memprihatinkan. Kami alumni prihatin,” demikian Yoyok Suryo. (B-SP/BS/jr)



