11.8 C
New York
Wednesday, October 29, 2025

Buy now

spot_img

Cateng !!! Rindu “Rezim Orde Baru”, benci Dirut PLN*)

Oleh Derek Manangka**)
BENDERRAnews, 20/6/17 (Jakarta): Semalam saat menonton siaran langsung ‘US Open’, salah satu kejuaraan golf paling bergengsi di dunia, tiba-tiba saja saya dihinggapi oleh perasaan jenuh. Saya putuskan untuk tidak menonton hari ketiga kejuaraan tersebut.

Pasalnya sekalipun para peserta banyak yang membuat pukulan di bawah
par, tapi kejuaraan ini, seperti tidak menunjukkan kelas dan bobot yang
patut membuat kita berdecak kagum.

Berbeda dengan ketika kejuaraan ini masih diikuti oleh Tiger Woods.
Pegolf berdarah campuran Afro-American & Thailand ini, dikenal dengan
berbagai pukulan yang super memukau. Untuk padang golf ‘design’ kuno
seperti Erin Hills, tempat US Open ke-117 digelar, bukan hal yang
mengejutkan kalau Tiger bisa mendaratkan bola golf ke ‘green’ pada pukulan
kedua di par 5.

Tiger di usia yang masih 20-an, sudah menciptakan skor dan pukulan yang
spektakuler. Sehingga kapan saja Tiger Woods sedang main, sangat rugi
bagi seorang pecinta golf, jika tidak ikut menyaksikan permainannya.
Padahal untuk menonton siaran langsung sebuah kejuaraan golf, minimal
dibutuhkan waktu lima jam non-stop. Dan itu berlangsung selama empat hari
berturut-turut. Dimulai Kamis, berakhir Minggu.

Golf tidak membosankan, golf dirindukan sepanjang ada Tiger Woods.
Bukan melebih-lebihkan keistimewaan golf dan kehebatan Tiger Woods.
Tapi waktu yang kita habiskan selama empat hari – dan biasanya dimulai
tengah malam, tidak saya rasakan sebagai hal yang membuang waktu yang
berguna.

Sebab, golf secara subyekti bagi saya merupakan olahraga ketangkasan
yang bermanfaat bagi kehidupan. Banyak filsafat kehidupan yang
direpresentasikan olahraga ini – sekalipun tidak semua pegolf
memandangnya seperti itu.

Tambahan lainnya, golf bukan tontonan seperti sepakbola yang penuh
atraksi. Misalnya ada tendangan salto, tendangan pisang dan
penyelamatan kiper yang spektakuler atas sebuah tendangan torpedo.
Yang bisa membuat kita sebagai penonton berdecak kagum.

Namun oleh seorang Tiger Woods di golf, decak kagum itu bisa
dihadirkannya. Inilah kelebihan Tiger Woods dan golf bagi para pegila golf.

Dari kejenuhan menonton golf US Open, saya seperti disadarkan oleh
sebuah ingatan, bahwa dalam kekinian, Indonesia juga mengalami
kekosongan atas figur yang bisa menjadi penyemangat.

Penyemangat bahwa negara kita sedang diurus dengan baik oleh sebuah
“dream team”. Anggota “dream team” ini seperti halnya Tiger Woods di
golf, memiliki kiat yang spektakuler bagaimana membuat Indonesia negara
yang terpandang di mata dunia.

Sebaliknya yang saya rasakan negara kita saat ini sedang tidak punya
individu-individu yang bisa membuat kita sebagai warga bangsa berdecak
kagum.

Penilaian saya pasti subyektif. Karena saya buat perbandingan, tanpa
melihat waktu ataupun zamannya. Saya hanya melihat manusia dan
karakternya.

Tapi sebagai wartawan yang di masa muda, masih penuh enerji meliput
berbagai kegiatan penting dari eksektutif dan legislatif, kesimpulan saya
menyatakan saya harus bersuara. Fakta harus diungkap. Perasaan tidak
boleh disembunyikan. Kalau tidak, kita akan menjadi manusia munafik.

Saya tidak ingin mengeritik Pak De Joko Widodo, sebagai Presiden yang
dipilih mayoritas rakyat Indonesia. Bukan karena alasan takut dan
sebagainya.

Bekas Walikota Solo ini sejauh yang saya pantau dari kejauhan, termasuk
orang baik. Setidaknya aura untuk menjadi koruptor selama menjadi
Presiden, tidak tercermin dari penampilannya. Jokowi orang lugu yang
sedang belajar dari sekelilingnya yang kenyataannya tidak semua lugu,
polos seperti tia.

Tapi yang saya lihat kelemahan pemerintahan Presiden Joko Widodo,
adalah karena dia tidak didukung oleh para pembantu yang betul-betul
bekerja untuk bangsa dan negara. Atau memahami bahwa menjadi pembantu Presiden harus ‘all out’.

Kita pernah punya Presiden yang dianggap otoriter dalam memerintah yakni Jenderal Soeharto.

Tapi yang cukup menarik, Soeharto sebagai Presiden militer yang
memerintah dengan tangan besi, merekrut personel yang memiliki
kemampuan tersendiri dan saya kira hingga kini belum tertandingi.
Pak Harto awam soal ekonomi.

Tapi keputusannya memberi kepercayaan kepada Prof Dr Widjojo Nitisastro, seorang anggota “Mafia Berkeley” yang diangap menjadi otak dari semua konsep pembangunan, ikut membuat pemerintahan Pak Harto kredibel ketika berbicara tentang pembangunan.

Prof Widjojo sendiri dikenal sebagai teknokrat yang tidak banyak bicara
apalagi mau tampil di televisi seperti TVRI. Yang saat itu merupakan satu-
satunya televisi di Indonesia. Praktis, dia hanya bicara kepada pers sekali
dalam tahun. Biasanya dua hari sebelum Presiden Soeharto menyampaikan
Pengantar Nota Keuangan RAPBN di Sidang Paripurna DPR-RI.

Prof Widjojo menjelaskan latar belakang penyusunan RAPBN, sehingga
wartawan atau pimpinan media paham apa yang akan dilakukan oleh
pemerintah satu tahun ke depan.

Dunia ekonomi yang bagi orang non-ekonomi sebagai hal yang rumit,
menjadi mudah dipahami. Rasa-rasanya, tidak pernah terjadi sebuah
kebijakan pajak yang baru diumumkan beberapa hari, lalu dikoreksi sendiri
oleh ororitas perpajakan. Ini sekedar sebuah ilustrasi.

Lalu ada Menteri Sekretaris Kabinet Moerdiono, yang sekaligus penulis
pidato Presiden Soeharto selama hampir 32 tahun. Dialah pencipta kata-
kata pembuka di hampir setiap pidato Presiden Soeharto yang berbunyi :
“….. Saudara-saudara sebangsa dan se Tanah Air…”.

Kalimat di atas tadinya tidak berarti apa-apa. Namun setelah berkali-kali
mendengarkannya, paling tidak saya sendiri, merasakan kosa kata itu
mengandung ajakan agar kita sesama warga bangsa Indonesia harus
bersatu. Artinya pidato seorang pemimpin apalagi seorang Presiden, harus
ditulis dengan sebuah visi sehingga bermakna. Tidak asal bunyi.

Tidak pernah terjadi, Presiden Soeharto membacakan pidato yang
dipersiapkan oleh staf lantas isi atau data dan faktanya salah.

Juga ada Sudharmono, Menteri Sekretaris Negara. Praktis dia merupakan
juru bicara tidak resmi Presiden Soeharto. Bagi wartawan yang bertugas
meliput kegiatan Presiden Orde Baru, paling enak mewawancarai atau
mendapatkan keterangan dari Pak Dhar. Begitu dia dipanggil akrab oleh
kami.

“’Press klar’ ini. Karena Pak Dhar yang akan kasih keterangan”, begitu kami
sebagai korps wartawan Istana, bila sudah diberitahu bahwa Mensesneg
yang akan memberikan keteran pers.

Wajah Pak Dhar juga “ngenakin”. Belum apa-apa, begitu dikerumuni
wartawan, sudah tersenyum. Walaupun wartawan era Soeharto terbiasa
hidup dalam tekanan pemerintah, tapi berdekatan dengan Pak Dhar, kita
merasa seperti manusia yang dibutuhkan oleh rezim yang otoriter.

Dia selalu memberi pengantar konteks apa yang perlu disampaikan, lalu
memberi kesempatan bertanya. Jadi pemahaman atas sebuah persoalan
apalagi yang agak rumit, selalu diawalinya dengan penjelasan dan latar
belakang singkat. Hal mana membuat wartawan terbantu dan seakan
wartawan-wartawan Istana itu cerdas semuanya. Termasuk saya.

Padahal kita menjadi ‘WKC’, wartawan kelihatan cerdas, karena peran dan
bantuan si nara sumber. Dalam hal ini Mensesneg Sudharmono.
Semua pertanyaan, sensitif apapun yang diajukan ke Pak Dhar, selalu
dijawab secara proporsional. Kalau ada yang sensitif Pak Dhar hanya
berpesan : “ kalau yang tadi ‘off the record’ yah”.
Selesai.

Ali Murtopo, jenderal yang dikenal tokoh dunia intelejens ini, tercatat
sebagai anggota militer yang merangkap sebagai politisi. Bicaranya tegas,
lugas dan kalau suka atau tidak suka pada seseorang, tanpa tedeng aling-
aling, perasaannya itu akan disampaikannya.

Saya teringat pada peristiwa di Gedung DPR/MP-RI, Senayan, bertepatan
dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR-RI 1978.

Betapa marahnya Ali Murtopo mengomentari pemandangan umum Fraksi
Partai Persatuan Pembangunan di Sidang Umum MPR-RI terhadap pidato
pertanggung jawaban Presiden Soeharto selaku Mandataris MPR-RI.
“Hanya orang sinting yang bisa menilai pidato Mandataris seperti itu”, kata
Ali Murtopo kepada wartawan, di lobi Ruang Sidang Paripurna DPR-RI.

Secara pribadi Ali Murtopo menyalahkan politisi PPP dari NU, Chalid
Mawardi. Namun yang mengejutkan, tak lama setelah ‘insiden’ itu, Chalid
Mawardi yang ketika itu menjabat Ketua Umum DPP Pemuda Ansor,
mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah.

Mula-mula diajak Wapres Adam Malik ke Havana, Kuba, dan sekembali dari
sana, ditunjuk Presiden menjadi Dubes RI untuk Libanon. Suara oposisi
yang sering disampaikan Chalid Mawardi pun akhirnya berkurang tensinya.

“Politisi itu harus kritis dan berani. Dan tidak boleh pendendam”, ujar
Chalid Mawardi kepada saya beberapa tahun kemudian, sekembalinya dari
Beirut, Libanon.

Kepadanya saya tanyakan, apakah pidato menyerang oleh PPP terhadap Presiden – sebagaimana yang dibacakannya bersama Ibu Aisah Amini saat
Sidang Umum MPR itu, merupakan taktik untuk memperoleh jabatan.

Masih tentang Ali Murtopo. Pada sebuah acara di Hotel Kartika Chandra,
Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Ali Murtopo menggelar pertemuan dengan
sejumlah Ormas pemuda. Tujuannya untuk mensosialisasikan pencantuman
Ormas pemuda KNPI dan penataran Panca Sila di GBHN. Tiba-tiba, Japto Soerjosumarno yang ketika itu belum terlalu dikenal
sebagai pimpinan Pemuda Panca Sila, menginterupsi.
Ali Murtopo langsung memberi waktu bicara kepada Japto dan sebelum
memberikan “mike”, Ali Murtopo langsung berujar : “Anda akan jadi
pemimpin masa depan pemuda Indonesia”.

Bagi saya apa yang diucapkan oleh Ali Murtopo, bukan kosa katanya yang
menarik untuk dicermati. Tapi sikapnya memberi respon. Itu semua
menunjukkan bahwa sebagai bagian dan pilar pemerintahan Orde Baru,
Ali Murtopo tidak sekedar sebagai ‘pelengkap penderita’.

Dia ikut mencitrakan pemerintahan Presiden Soeharto sebagai rezim yang
punya wibawa dan integritas. Menariknya lagi, Ali Murtopo menurut cerita
tak terkonfirmasi, merupakan jenderal yang ingin menggantikan Pak Harto
sebagai Presiden.

Peran-peran besar masih banyak yang dilakukan oleh sejumlah tokoh. Tapi
nanti saya ulas di esidi berikutnya.

Semangat mau menulis ulasan yang lebih menyeluruh, tiba-tiba terganggu
membaca kutipan Dirut PLN Sofyan Basir.

Benci atau lebih tepat disebut marah banget saya membaca ucapannya
yang beredar di media sosial yang berbunyi begini : “Mau tarif listrik turun?
Cabut Meterannya !”.

Jika ucapan itu benar dari Sofyan Basir, saya berharap Presiden Joko
Widodo memecatnya dengan tidak hormat.

Pejabat publik berkarakter seperti ini, jika tidak dipecat akan ikut merusak
kredibilitas pemerintah, cq Presiden Joko Widodo sendiri.*****

*) Disadur dari tulisan Derek Manangka, dengan judul asli:

CATATAN TENGAH, Minggu 18 Juni 2017

Rindu “Rezim Orde Baru”, Benci Dirut PLN

**) Penulis adalah Jurnalis Senior, yang mengawali kiprah jurnalistiknya di media kampus, lalu jadi reporter Majalah Selecta, Tabloid Mutiara, Sinar Harapan, kemudian menerbitkan sekaligus jadi Redaktur Eksekutif Prioritas (bersama Surya Paloh, Panda Nababan dkk) dan Media Indonesia, selanjutnya Pemimpin Redaksi Koridor.com (‘media online’ politik pertama di Indonesia), hingga Pemred RCTI yang membidani lahirnya Koran Sindo.

Related Articles

Stay Connected

0FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles