BENDERRAnews, 14/3/18 (Jakarta): Pihak Mahkamah Agung rupanya semakin gerah dengan perilaku korup yang masih dilakukan oleh aparatur peradilan.
Padahal, Mahkamah Agung (MA) mengklaim sudah melakukan berbagai upaya untuk mencegah korupsi di lingkungan peradilan.
Karena itu, Ketua MA bidang Pengawasan, Sunarto menegaskan, hakim atau aparat peradilan yang tidak dapat dibina sudah selayaknya untuk “dibinasakan”. Untuk itu, MA menyerahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau instansi lain untuk mengambil tindakan tegas terhadap aparatur peradilan yang melakukan penyimpangan.
“Dengan sangat menyesal kita harus mengambil tindakan tegas yang tidak bisa dibina harus ‘dibinasakan’ prinsipnya,” tegas Sunarto dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (13/3/18) malam.
Ketangkap tangan
Diketahui, KPK menetapkan hakim dan panitera pengganti Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Wahyu Widya Nurfitri dan Tuti Atika sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait penanganan perkara perdata yang ditangani PN Tangerang. Selain Wahyu Widya Nurfitri dan Tuti Atika, status tersangka juga disematkan KPK terhadap dua pengacara, yakni Agus Wiyatno dan HM Saipudin. Keempat orang itu ditetapkan sebagai tersangka setelah diperiksa intensif usai ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin (12/3).
Wahyu Widya Nurfitri dan Tuti diduga menerima suap sebesar Rp30 juta dari Agus Wiyatno dan HM Saipudin terkait perkara wanprestasi di PN Tangerang. Perkara bernomor 426/Pdt.G/2017/PN Tng, dengan pihak tergugat Hj, M, cs itu dengan permohonan agar ahli waris mau menandatangani akta jual beli melalui pemberian pinjaman hutang sebelumnya.
Sunarto tak habis pikir dengan perilaku korup yang dilakukan Wahyu Widya dan Tuti Atika. Disebutnya, tindakan Wahyu Widya dan Tuti tersebut telah menodai dan mencoreng profesi aparatur peradilan dan kelembagaan MA. Hal ini lantaran MA sedang giat-giatnya membangun sistem pencegahan korupsi dan menjaga integritas hakim.
“MA telah berusaha memperbaiki suatu sistem dan setiap sistem ada kelemahan, dan perubahan yang dilakukan MA sudah signifikan dengan kebijakan yang tidak memberikan toleransi tiap ada pelanggaran, namun ada aparatur MA yang keluar dari komitmen sehingga menodai profesinya,” katanya.
Sunarto mengatakan, hakim dan aparat peradilan yang masih melakukan korupsi tak dapat mengikuti perubahan yang dilakukan MA. Untuk itu, Sunarto berterima kasih dan mengapresiasi tindakan tegas yang dilakukan KPK dengan menjerat hakim dan panitera korup.
“Kami mewakili MA mengucapkan terima kasih kepada KPK yang telah membantu MA ikut melakukan pembersihan aparatur MA yang punya karakter tidak terpuji. Kami memberikan apresiasi sangat tinggi karena KPK konsisten dengan janji-janji dan tekadnya untuk selalu menjaga integritas hakim,” katanya.
MA tidak menoleransi
Sunarto menegaskan MA tidak akan menoleransi setiap penyimpangan yang dilakukan hakim dan aparatur peradilan. Dikatakan, MA langsung memberhentikan sementara Hakim Wahyu Widya dan Panitera Pengganti Tuti Atika. Status ini akan meningkat menjadi pemberhentian tetap setelah keduanya dinyatakan terbukti bersalah.
“Siapa pun yang kena OTT langsung kita SK-kan berhentikan sementara dibayar 50 persen gaji pokok sampai ada putusan berkekuatan hukum tetap. Jika terbukti, setelah putusan kekuatan hukum tetap langsung kita berhentikan tetap. Namun kalau enggak terbukti, kita rehabilitasi,” tegasnya.
Selain itu, Sunarto menyatakan, MA langsung memeriksa ketua Pengadilan Negeri Tangerang sebagai atasan langsung hakim Wahyu Widya dan Panitera Tuti. Langkah ini dilakukan untuk memastikan tidak ada lagi aparatur peradilan yang terlibat dalam kasus tersebut.
“Jadi ini berjenjang, kalau ini hakim tingkat pertama maka yang kami periksa tadi pagi adalah ketua pengadilannya. Karena melibatkan panitera pengganti, yang tadi kami periksa paniteranya. Atasan langsungnya itu, pengawasan cukup bagaimana sewajarnya dan memang sudah ada pembinaan sudah rutin hampir 2 minggu sekali,” katanya.
Pertanyakan motif
Dalam kesempatan ini, Jubir MA, Suhadi menyesalkan masih adanya hakim dan aparatur peradilan yang menerima suap di tengah upaya reformasi peradilan yang dilakukan MA. Suhadi pun mempertanyakan motif hakim Wahyu Widya yang dengan mudah mengorbankan karier, mencoreng nama baik keluarga dan lembaga peradilan hanya demi suap yang nilainya tak lebih dari Rp 30 juta.
“Nilainya sangat kecil kok mau menanggung risiko, mengorbankan kariernya sendiri, nama baik keluarga dan nama baik lembaga,” kata Suhadi.
Suhadi sangat berharap kasus suap yang menjerat Wahyu Widya dan Tuti Atika menjadi pelajaran bagi seluruh aparatur peradilan di Indonesia. Suhadi khawatir jika perilaku korup ini tidak dihentikan akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
“Jadi mudah-mudahan ini yang terakhir,” harapnya.
Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan mengungkapkan, pihaknya sudah berulang kali menerima laporan adanya dugaan korupsi yang dilakukan Wahyu Widya. Namun, laporan tersebut baru terbukti setelah KPK melakukan serangkaian penyelidikan, pengumpulan informasi dan penangkapan terhadap Tuti pada Selasa (12/3/18) kemarin
“Ada sebelumnya laporan hal yang sama. Tidak dibiarkan juga. Waktu itu belum ditemukan oleh KPK,” kata Basaria.
Untuk itu, Basaria memastikan tim penyidik bakal mengembangkan kasus ini. Termasuk menelusuri dugaan suap lain yang diterima Wahyu Widya sebelumnya.
“Apakah dilakukan pengembangan terhadap laporan sebelumnya, ini masih akan mungkin nanti akan tergantung dari penyidik apakah bisa dikembangkan atau tidak,” katanya.
Usai ditetapkan sebagai tersangka dan diperiksa secara intensif, Wahyu Widya, Tuti Atika, Agus Wiyatno dan HM Saipudin langsung dijebloskan KPK ke sel tahanan. Wahyu Widya ditahan di Rutan Gedung KPK, dan Tuti Atika ditahan di Rutan Pondok Bambu. Sementara Agus Wiyatno yang menyandang status tersangka pemberi suap dijebloskan di Rutan Pomdam Jaya Guntur dan HM Saipudin ditahan di Rutan Gedung KPK. Keempat tersangka bakal ditahan setidaknya untuk 20 hari pertama. Demikian diberitakan ‘Suara Pembaruan’, seperti dilansir ‘BeritaSatu.com’. (B-SP/BS/jr)



