BENDERRAnews, 4/9/18 (Jakarta):Â Kondisi sekarang, sangat jauh berbeda dengan Krisis Ekonomi 1998 yang melanda Indonesia dan mengakibatkan tumbangnya rezim Orde Baru.
Karena itu, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaku heran dengan sejumlah pihak yang membandingkan kondisi ‘pelemahan rupiah’ saat ini dengan krisis ekonomi tahun 1998.
Meski nilai tukar rupiah sama-sama tembus Rp14.800 per dollar Amerika Serikat, namun ia menegaskan, kondisinya jauh berbeda.
“Jangan dibandingkan Rp14.000 sekarang dengan 20 tahun lalu,” kata Darmin usai rapat membahas pelemahan rupiah yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (4/8/18).
Darmin menjelaskan, 20 tahun lalu, awalnya rupiah masih berada pada angka Rp2.800 per dollar AS.
Namun, pada akhir kepemimpinan Soeharto, nilai tukar langsung melonjak ke angka Rp14.000 per dollar AS sehingga terjadi krisis.
Sementara, pada awal pemerintahan Jokowi pada 2014 lalu, nilai tukar rupiah terhadap dollar memang sudah berada di kisaran Rp12.000.
Oleh karena itu, dollar yang kini berada di kisaran 14.800 bukan lah sebuah lonjakan yang signifikan.
“Saya heran itu ada artikel di salah satu pers internasional yang membandingkan itu ‘tembus angka terendah 1998/1999’, eh persoalan tahun 1998 itu enam kali lipat itu,” ujar Darmin.
Darmin memastikan, fundamental ekonomi Indonesia masih kuat. Berbagai kebijakan yang selama ini diambil tetap akan dipertahankan.
Hanya saja, pemerintah akan melakukan perbaikan di beberapa sektor, salah satunya transaksi berjalan yang kini mengalami defisit.
“Kelemahan kita hanya transaksi berjalan yang defisit 3 persen. Lebih kecil dari 2014, 4,2 persen. Masih lebih kecil dari Brasil, Turki, Argentina,” ujarnya.
“Tolong membacanya, membandingkannya yang fair,” tambahnya.
Jangan impor Ferrari, parfum mahal, tas ‘hermes’
Memang, nilai tukar rupiah terhadap dollar terus merosot. Bahkan mata uang Garuda itu sudah menembus Rp14.800 per dollar, atau level terendah sejak krisis 1998.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pun meminta masyarakat untuk membantu pemerintah mengurangi impor. Hal itu penting untuk mengurangi defisit neraca perdagangan.
Salah satu caranya, yakni dengan tidak mengimpor barang-barang mewah.
“Mungkin jumlahnya tidak besar tetapi perlu untuk meyakinkan kepada masyarakat bahwa suasana ini, suasana berhemat,” ujar Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (5/9/18).
“Suasana kita tidak perlu impor barang mewah, enggak usah Ferrari, Lamborghini masuk, enggak usah mobil-mobil besar, yang mewah-mewah. Tak usah parfum-parfum mahal atau tas-tas Hermes,” sambungnya.
Pemerintah, tutur Kalla, akan berupaya meningkatkan ekspor sumber daya alam dan coba menurunkan impor yang tidak perlu.
Di sisi lain, peningkatan lokal konten juga perlu ditingkatkan sehingga industri tak banyak mengimpor barang.
Selain itu, pemerintah juga meminta agar ekspor dilakukan secara efesien. Sebab, uang hasil ekspor banyak disimpan di luar negeri.
Menkeu, Gubernur BI sudah diberi PR
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengatakan, ia dan Presiden Joko Widodo sudah memberikan tugas kepada jajaran menteri dan pejabat lembaga.
Tugas itu diberikan untuk meredam keperkasaan dollar AS terhadap rupiah. Seperti diketahui, nilai tukar rupiah terus melemah.
“Banyak hal tentu detailnya akan dibicarakan oleh menteri keuangan, gubernur Bank Indonesia (BI), menteri perdagangan,” ujarnya di Jakarta, Selasa.(4/8/18), sebagaimana dilansir ‘Kompas.com’.
“(Mereka) sudah dikasih pekerjaan rumah (PR) masing-masing,” sambung Kalla di kantornya.
Kalla mengatakan, pemerintah sudah menggelar rapat internal terkait dengan pelemahan rupiah. Pemerintah kata dia, akan berupaya agar rupiah tak terus melemah.
Selain gelontoran cadangan devisa ke pasar uang yang dilakukan BI, upaya penguatan rupiah juga dilakukan dengan berupaya memperkecil defisit perdagangan.
Caranya yakni dengan menggenjot ekspor dan mengurangi impor. Selain itu, pemerintah juga mengatakan akan berupaya memperbesar komponen lokal dalam berbagai proyek infrastruktur.
Dengan begitu, impor alat-alat atau barang-barang proyek tak perlu berasal dari impor. (B-KC/jr)



