BENDERRAnews, 4/3/19 (Jayapura): Ihwal terpenuhinya kebutuhan akan pendidikan, itu memang salah satu problem utama yang mendesak bagi warga Papua.
Ya, pendidikan bagi anak-anak di Papua hingga kini masih butuh perhatian. Tak hanya dari pemerintah, tetapi dari masyarakat yang peduli pula.
Pasalnya, tak sedikit anak usia sekolah di Papua yang belum terjangkau pendidikan dasar.
Selain karena alasan geografis, lokasi tinggal anak-anak usia sekolah itu jauh dari gedung sekolah dasar (SD) terdekat. Sehingga, tak sedikit gedung sekolah yang didirikan oleh pemerintah kurang dimanfaatkan pula.
Apalagi, sekolah itu tak memiliki guru. Atau guru di sekolah itu tak setiap hari ada.
Artikel ini, merupakan bagian pertama dari beberapa tulisan yang akan ditayang BENDERRAnews pada edisi-edisi berikutnya: “Mengulas penjelajahan James Riady di rimba Papua”. Di edisi awal ini, redaksi merangkum sebuah reportase menarik dari P Tri Agung Kristanto (reporter Kompas, di bawah judul: “Banyak Anak Usia Sekolah Papua Belum Terjangkau Pendidikan”, 1 Maret 2019), yang ikut menyertai James Riady bersama rombongan menerobos pedalaman Tanah Papua.
James terobos pedalaman
Nah, kondisi itulah yang tergambar dalam kunjungan Kompas menyertai James Riady, pendiri Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP), dan rombongan selama empat hari, sejak Minggu (24/2/19) hingga Rabu (27/2), di sejumlah kabupaten.

Penjelajahan dimulai dari Jayapura, hingga ke kawasan pedalaman, seperti Boven Digoel, Yahukimo, Intan Jaya, dan Tolikara.
Fakta di lapangan menunjukkan, selain pendidikan, warga pedalaman Papua memerlukan layanan kesehatan dasar pula. Seperti di Kampung Daboto, Kabupaten Intan Jaya, yang berjarak lebih dari 400 kilometer dari Jayapura, ibu kota Papua, semula tidak memiliki pusat layanan kesehatan.
Layanan kesehatan terdekat dari kampung itu bisa dijangkau dengan jalan kaki selama dua hari. Sejak tiga tahun lalu, Rumah Sakit Siloam, yang dimiliki keluarga Riady, membuka klinik di kampung itu dengan dilayani seorang dokter dan dua perawat.
Tak menikmati hak
Data Kementerian Kesehatan tahun 2017 menunjukkan, jumlah penduduk berusia kurang dari 15 tahun, yang dapat dijangkau pendidikan usia dini dan pendidikan dasar, di Papua sekitar 971.000 orang.
Selanjutnya,aAngka partisipasi kasar pendidikan dasar, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Papua tahun 2017, ualah 92,94 persen.
Sedangkan angka partisipasi kasar pendidikan dasar di lima kabupaten yang dikunjungi, yaitu antara 62,87 persen (Tolikara) hingga 106,19 persen (Boven Digoel).

Namun, James menduga, ada banyak lagi anak-anak usia pendidikan dasar di Papua yang tak menikmati haknya. Mereka bisa saja terdaftar sebagai siswa, tetapi setiap hari tidak bersekolah. ”Lihat saja, selama kami melakukan kunjungan, ada bangunan SD yang tertutup, sebab gurunya tak pernah datang,” katanya.
Di Sentani, Selasa, Bupati Jayapura Mathius Awoitauw juga mengakui, pendidikan di Papua memerlukan perhatian yang lebih. Baik dari pemerintah maupun warga yang peduli.
Pendidikan bagi anak-anak, terutama pendidikan dasar, di Jayapura juga menghadapi masalah pelik, karena kekurangan guru. Tidak banyak orang bersedia ditempatkan di sekolah yang terpencil.
”Kami masih kekurangan guru,” ujar Mathius.
Untuk mengatasi persoalan kelangkaan guru itu, Pemerintah Kabupaten Jayapura menggandeng organisasi kemasyarakatan peduli pendidikan dengan memberikan gaji bagi guru dari lembaga itu.
Gebrakan James Riady
Sebaliknya, menurut James, jumlah guru yang bersedia ditempatkan di daerah terpencil tidak masalah. Sebab, selain membuka di Sentani, Jayapura, Sekolah Lentera Harapan (SLH) yang diprakarsai YPHP bersama Yayasan Pendidikan Pelita Harapan (YPPH) bagi warga kurang mampu, dibuka pula di Kampung Korupun dan Nalca (Yahukimo), Mamit dan Karubaga (Tolikara), dan Daboto (Intan Jaya).

SLH di Mamit yang dibuka sejak enam tahun lalu kini memiliki 253 siswa dengan 19 guru, berasal dari Papua dan daerah lain di seluruh Indonesia. Bahkan, sebagian besar guru-guru itu tak ingin dipindahkan dari Papua.
”Komitmen pada pendidikan bagi mereka yang kurang mampu itu yang lebih penting,” kata James.
Pelatihan Guru (Teacher Collage) Universitas Pelita Harapan (UPH) — juga milik Lippo Group — menghasilkan sarjana pendidikan (guru) yang siap ditugaskan ke daerah.
Selain daerah terpencil di Papua, SLH juga dibangun di tujuh provinsi lain di Indonesia.
Namun, sejumlah guru SLH menuturkan, pendidikan dasar di Papua juga mendapatkan tentangan tradisi. Masih ada suku di Papua yang melarang anak perempuan ke sekolah. Ini tantangan kita bersama. “Marijo katong rame-rame bangun Tanah Papua dengan hati,” demikian ungkapan Yusak Yaluwo, putra Indonesia berdarah Papua, Alumni Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), di Manado. (B-KC/jr — foto ilustrasi istimewa)



