BENDERRAnews.com, 10/5/21 (Jayapura): Sikap tegas dinyatakan tokoh senior Papua yang juga pendiri Organisasi Papua Merdeka, Nick Messet.
Dilaporkan, Nick menegaskan, aktivis Veronica Koman tidak berhak berbicara mengenai persoalan Papua. Nick juga menyebut Veronica sebagai provokator.
“Anda, Veronica Koman, bukan orang Papua. Anda tidak lebih dari seorang provokator,” ujar Nick dalam webinar “Memahami Papua, serta Upaya Penyelesaian Secara Kolaboratif dan Holistik”, Sabtu (8/5/21).
Mantan Menteri Luar Negeri OPM tersebut mengatakan, dalam kondisi sekarang sudah tidak ada lagi keraguan dari pemerintah dalam membangun Papua. Karena itu, berbagai pihak yang selalu memprovokasi masyarakat agar menghentikan aktivitasnya.
“Anda (Veronica) hanya mencari keuntungan atas kekisruhan ini. Saya harap, Anda Veronica Koman jangan campuri lagi urusan Papua, Anda adalah provokator yang pengecut bersembunyi di luar negeri,” ungkap Nick.
Diketahui, nama Veronica mencuat setelah terjadinya demonstrasi di Papua yang dipicu oleh insiden rasis di Surabaya pada 4 September 2019. Veronica telah ditetapkan sebagai tersangka, karena dituduh melakukan penghasutan dan memprovokasi melalui media sosial.
Disebut Nick, memang masih ada kelompok kriminal di Papua, tetapi eksistensinya sudah semakin melemah. Kelompok itu terdiri atas empat faksi, yaitu Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dengan Presiden Victor Yeimo.
Kemudian, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dengan Presiden Benny Wenda, OPM Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (OPM-TPNPB) dipimpin Jeffrey Bolmanak, dan Kelompok Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) dengan Presiden Forkorus Yaboisembut.
“Sekarang dengan pendekatan antropologi budaya yang dilakukan pemerintah pusat di Jakarta, pemberdayaan masyarakat adat dan hak-hak masyarakat adat di Papua harus menjadi perhatian. Orang Papua harus segera bangkit dari keterpurukan,” tegas Nick, seperti dilansir ANTARA.
Veronoka bagian dari proksi?
Sementara itu, aksi teror oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua berulang kali terjadi. Masyarakat diharapkan dapat mewaspadai kelompok proksi yang memanfaatkan situasi konflik. Aktivis Veronica Koman pun dianggap sebagai bagian dari proksi tersebut.
“Kelompok proksi ini kan bukan rahasia lagi. Beberapa kelompok, aktivis, dan NGO tertentu itu boleh jadi, baik secara sadar maupun tidak disengaja masuk dalam perangkap kepentingan asing,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo kepada BeritaSatu.com, Minggu (9/5/21).

“Saya melihat Veronica Koman dan kawan-kawan, boleh jadi sebagai agen proksi secara sadar, tetapi bisa juga secara tidak sadar masuk dalam perangkap strategi perang proksi. Masyarakat harus sadar, tahu, dan hati-hati dengan sepak terjang Veronica Koman dan kawan-kawan,” tegas Karyono.
Disebut Karyono, sangat tidak menutup kemungkinan Veronica bagian dari proksi yang digunakan oleh kekuatan asing, karena memiliki kepentingan di Papua.
“Sekali lagi, publik perlu tahu soal ini. Ada kekuatan asing yang sengaja menggunakan kelompok masyarakat tertentu di Papua. Dalam kasus yang lain juga begitu. Kerap kali kekuatan asing yang berkepentingan terhadap suatu negara, menggunakan kelompok masyarakat sebagai proksi,” ucapnya.
Karyono menambahkan perang proksi sudah menjadi tren dalam beberapa tahun belakangan, termasuk pada masa mendatang.
“Karena lebih efisien mengendalikan satu negara, salah satunya adalah menggunakan strategi perang proksi,” kata Karyono.
Sementara itu, Direktur Civil Society Watch (CSW) Ade Armando pun meyakini, kelompok-kelompok bersenjata hanya menempati kelompok kecil dari masyarakat Papua. Selama ini, justru kelompok-kelompok itu yang terus mengorbankan masyarakat Papua untuk misi-misi politik terselubung.
“Sangat mungkin didanai oleh kekuatan-kekuatan asing atau mereka yang selama ini sudah berhasil menghisap kekayaan Papua untuk kepentingan mereka,” kata Ade dalam keterangannya.
Ade menepis tuduhan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang menyebut pelabelan teroris terhadap KKB dan perang terbuka melawan KKB sebagai jalan pintas melegitimasi kekerasan, mengabaikan pendekatan keamanan manusia, memperpanjang pelanggaran HAM, menghambat perdamaian, rawan disalahgunakan, serta pelembagaan rasisme dan diskriminasi.
Disebut Ade, berbagai tuduhan itu justru menghambat tercapainya stabilitas dan perdamaian di Papua. Dengan kata lain, pembangunan ketidakpercayaan pada pemerintah semacam ini bisa menghambat tercapainya kesejahteraan rakyat Papua.
“Kami berharap masyarakat sipil Indonesia bisa terus terlibat dalam upaya bersama menjadikan rakyat Indonesia hidup sejahtera, damai dan terlindungi hak asasi manusianya,” demikian Ade Armando.
Aparat harus kejar Veronika
Terpisah, aparat penegak hukum diminta mengejar Veronica Koman. Sebab, Veronica sudah lama berstatus tersangka. Disebut Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, aparat penegak hukum dapat bekerja sama dengan interpol untuk menangkap Veronica.
“Penegak hukum harus mengejar Veronica Koman. Harus segera diadili. Jangan terlalu lama dibiarkan berkeliaran di luar negeri. Ada instrumen yang bisa digunakan. Misalnya kerja sama dengan Interpol dan lain-lain,” kata Karyono kepada BeritaSatu.com, Minggu (9/5/21).

Karyono menyatakan, peradilan terhadap Veronica menjadi penting untuk menunjukkan Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
“Supaya juga ada efek jera dan sebagai edukasi kepada masyarakat agar tidak melakukan hal sama sebagaimana yang dilakukan oleh Veronica Koman dan kawan-kawan. Ini penting. Penegak hukum harus segera mengejar Veronica Koman untuk segera diadili,” tegas Karyono.
Sekadar diketahui, penyidik Sub Direktorat Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jatim telah menerbitkan surat daftar pencarian orang (DPO) terhadap Veronica Koman pada 20 September 2019 Veronica merupakan tersangka kasus ujaran kebencian dan hoax atas peristiwa aksi demo di depan Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Kota Surabaya, 17 Agustus 2019.
Atas perbuatannya, Veronica dijerat dengan pelanggaran pasal berlapis yakni Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Pasal 160 KUHP, serta UU 1/1946 dan UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. (B-ANT/BS/jr)



