BENDERRAnews.com, 19/6/21 (Jakarta): Sesungguhnya ada perbedaan antara kaum marhaen yang istilahnya dimunculkan oleh Proklamator Soekarno dengan kaum proletar sebagaimana dipakai di buku-buku ilmiah. Ditegaskan, marhaen berbeda dengan proletar.
“Marhaen itu berbeda dengan proletar. Orang proletar adalah mereka yang tidak mempunyai alat produksi, sedangkan marhaen itu punya alat produksi dalam hal ini punya cangkul dan lain-lain. tapi miskin atau mengalami pemiskinan,” kata Sosiolog, Retor AW Kaligis, dalam acara ‘Talkshow & Musik Bung Karno Series’ Episode ke-19 bertema “Bung Karno dan Wong Cilik”, Sabtu (19/6/21).
Penulis buku “Marhaen dan Wong Cilik” itu menuturkan, istilah marhaen terjadi ketika Bung Karno bersekolah di Technische Hoogeschool (THS), Bandung. Bung Karno banyak menyaksikan pemandangan yang pahit, bagaimana rakyat Indonesia saat itu hidup dalam kemelaratan, kemiskinan dan serba kekurangan.
“Bung Karno merasa di Nusantara ini subur, tapi rakyatnya banyak yang miskin atau dimiskinkan itu karena penindasan. Baik dari feodalisme, kapitalisme atau imperialisme. Rakyatnya mengalami kemiskinan di tengah alam yang subur,” kata Retor.
Bertekad senantiasa memperjuangkan hak-hak marhaen
Sejak saat itu, dalam upayanya memperjuangkan kemerdekaan, Bung Karno bertekad untuk senantiasa memperjuangkan hak-hak dan keberpihakannya kepada wong cilik. Rakyat Indonesia harus benar-benar makmur dan tercukupi kebutuhannya.
“Kemerdekaan bagi Bung Karno enggak sekadar kemerdekaan bangsa, tapi pembebasan rakyat dari penindasan,” tandas Retor.
Bung Karno memperhatikan, kemiskinan dan kemelaratan rakyat Indonesia itu karena penindasan secara sistem. Padahal sejatinya, wong cilik ini mempunyai alat produksi yang bisa digunakan untuk bekerja. Kondisi yang berbeda dengan proletar.
“Bung Karno turut serta terjun dan bergaul dengan masyarakat sekitar. Ketika kuliah di Bandung tak sekadar kuliah di kampus. Beliau juga menyaksikan penderitaan wong cilik. Ketika itu Bung Karno bertemu dengan seorang petani yang bernama Marhaen. Saat itulah muncul istilah kaum marhaen ini,” ujar Retor.
Perjuangan kemerdekaan diilhami rakyat kecil
Nilai lain yang bisa dipelajari ialah gagasan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, seperti dialami Bung Karno, banyak diilhami oleh kehidupan rakyat kecil yang tertindas. Ilham itu takkan bisa muncul jika tak melakukan hal yang dilakukan Bung Karno, yakni bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Sejak kecil, Bung Karno tumbuh dalam didikan wong cilik, dan diajarkan untuk selalu berpihak kepada sesamanya.
“Semua hal itu berperan serta membentuk jiwa kepemimpinan seorang Soekarno yang menggerakkan perjuangan kemerdekaan bangsa bersama wong cilik,” demikian Retor Kaligis. (B-BS/jr)



