BENDERRAnews, 20/5/19 (Jakarta): Saat ini Pemilu Serentak 2019 telah memasuki tahap akhir Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Tingkat Nasional. KPU RI telah menyelesaikan rekapitulasi nasional 34 Provinsi dan 130 PPLN untuk Pemilu di luar negeri.
“Dinamika politik cukup tinggi mewarnai proses Pemilu sejak pengumuman hasil quick count sejumlah lembaga survei dan sepanjang proses rekapitulasi berlangsung. Di antaranya saling klaim kemenangan antara dua pasangan calon yang menimbulkan friksi tajam di kalangan elite dan berimbas perpecahan di masyarakat umum,” ujar Jeirry Sumampouw dkk aktivis pengguat demokrasi, yang tergabung dalam Gerakan untuk Pemilu Damai dan Konstitusional (GPDK).
Selain itu, menurut GPDK, mengemuka wacana people power yang diserukan oleh tokoh-tokoh dari pihak berkeberatan dengan hasil quick count dan rekapitulasi berjenjang KPU.
“People power dinyatakan sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap kecurangan Pemilu yang diyakini terjadi secara terstruktur, sistematis dan massif (TSM) dan dinyatakan sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada penyelenggara pemilu dan mekanisme konstitusional yang ada,” ungkapnya.
Selanjutnya, ada juga aksi-aksi protes yang menuntut Bawaslu RI memproses dugaan pelanggaran hingga berujung tuntutan agar KPU (dan Bawaslu) mendiskualifikasi salah satu pasangan calon, karena dinilai telah melakukan kecurangan yang TSM.
“Di samping itu, merebak wacana kekerasan yang dilontarkan oleh penggagas, pelaksana dan peserta aksi misal seruan kepung KPU dan Bawaslu, siap gugur sahid, penggal leher, jika kita siap musuh lebih siap dan lain-lain yang mengarah kepada ektrimisme dan radikalisme. Diksi-diksi yang digunakan mengesankan seolah Pemilu adalah pertempuran habis-habisan antara dua musuh, bukan kontestasi dalam proses berdemokrasi,” bebernya.
Tak kalah serunya, ada penyebaran info dan berita hoax sangat massif serta meresahkan masyarakat. Bahkan seringkali informasi hoax berhasil menimbulkan silang pendapat berkepanjangan antara berbagai pihak.
Terakhir, muncul pernyataan dari salah satu pasangan calon, yakni, menolak hasil Pemilu yang akan ditetapkan oleh KPU RI dan tidak akan menempuh mekanisme sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK). Ini karena adanya ketidakpercayaan kepada MK, serta akan menyerahkan respon terhadap hasil Pemilu kepada rakyat.
Ada mekanismenya
Karena itu, Jeirry dkk mengingatkan, Pemilu memiliki mekanisme penegakan hukum. Dan mekanisme penyelesaian sengketa perselisihan hasil Pemilu sebagaimana diatur dalam konstitusi UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dilandasi spirit penegakan hukum Pemilu dan menjaga agar proses Pemilu berjalan sesuai konstitusi, Jeirry dkk dari masyarakat sipil yang bergabung dalam Gerakan untuk Pemilu Damai dan Konstitusional menyerukan:
Pertama, Pasangan Calon dan Tim Kampanye/Tim Pemenangan, agar:
Merujuk kepada hasil Pemilu yang ditetapkan oleh KPU RI sebagai dasar dalam menentukan sikap terhadap hasil Pemilu; dan, Menghargai mekanisme hukum yang telah tersedia dalam Konstitusi dan UU Pemilu. Jika menemukan dugaan pelanggaran agar melaporkan ke Bawaslu dan atau ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Apabila berkeberatan/tidak menerima hasil pemilu, dapat menempuh jalur sengketa PHPU ke MK dengan mengajukan bukti-bukti dugaan pelanggaran yang selama ini terwacanakan.
Kedua, Semua pihak agar menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi, menghargai konstitusi, menciptakan suasana kondusif menjelang dan setelah penetapan hasil Pemilu dengan tidak melakukan provokasi, ancaman kekerasan dan seruan yang mengarah pada tindakan-tindakan yang inkonstitusional.
Ketiga, KPU RI agar menyelesaikan proses rekapitulasi nasional sesuai jadwal yakni tanggal 22 Mei 2019 dengan mengedepankan prinsip taat aturan, independensi transparansi proses dan hasil serta akurasi data hasil rekapitulasi. Memperbaiki mekanisme validasi input data pada Sistem Informasi Penghitungan Suara (SITUNG) sesuai keputusan Bawaslu RI Nomor 07/LP/PP/ADM/RI/00.00/V/2019 tentang pelanggaran administrasi KPU RI, agar data yang terpublikasi kepada publik melalui SITUNG memiliki validitas dengan tingkat akurasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Keempat, Bawaslu RI agar mengoptimalkan pengawasan pada tahapan rekapitulasi nasional, mengedepankan prinsip taat hukum, independen dan spirit penegakan hukum Pemilu dalam memproses dugaan pelanggaran pemilu, sesuai tagline Bawaslu: Bersama Rakyat Awasi, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu.
Kelima, Masyarakat agar tetap mengawal bersama proses tahapan pemilu, mengedepankan sikap hati-hati dalam menerima informasi/mengecek kebenaran informasi sebelum menyebarkan, tidak mudah terprovokasi oleh politik adu domba, tidak tidak terpancing untuk melakukan tindakan kekerasan dan langkah-langhah inkonstitusional.
Keenam, Mendukung aparat keamanan yakni Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Datasemen Khusus (Densus) 88 untuk bekerja optimal menjaga kondusifitas keamanan pelaksanaan tahapan Pemilu dan memberi rasa aman untuk semua.
Demikian seruan kami sebagai upaya masyarakat sipil untuk mendorong terwujudnya Pemilu yang damai dan konstitusional.
Jakarta, 19 Mei 2019.
Gerakan untuk Pemilu Damai dan Konstitusional
Sigit Pamungkas dan Hadar Gumay, Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Bivitri Susanti, Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Monica Tanuhandaru dan Wahidah Suaib, Partnership for Governance Reform (KEMITRAAN), Titi Anggraini dan M Fadli Ramadhani, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Presidium Nasional Jaringan Demokrasi Indonesia (Presnas JaDI), Ray Rangkuti, Lingkar Madani (LIMA) Indonesia, Dahliah Umar, Network for Indonesian Democratic Society (NETFID), Veri Junaidi – Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Jeirry Sumampow, Komite Pemilih Indonesia (Tepi), August Mellaz, Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Feri Amsari, Pusat Studi dan Konstitusi (PuSaKo) Universitas Andalas, Muhammad Hanif, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Donal Fariz – Indonesia Corruption Watch (ICW), Kaka Suminta, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Delia Widianti, Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI). (B-r/js/jr)



