7.4 C
New York
Tuesday, October 28, 2025

Buy now

spot_img

Ajakan !!! Pandemi tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga roda perekonomian nasional, James Riady: Pemerintah dan swasta selayaknya bergotong-royong menanganinya

BENDERRAnews.com, 24/5/20 (Jakarta): Sampai kini dan entah berapa bulan lagi ke depan, pandemi Covid-19 di Indonesia masih jadi persoalan yang belum terselesaikan. Sebab, pandemi tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga roda perekonomian nasional. Untuk itulah, pemerintah dan swasta sudah selayaknya bergotong-royong untuk menangani pandemi bersama-sama.

Dalam mengatasi ini, Ketua Yayasan Pendidikan Pelita Harapan, James Riady berpendapat, pihak swasta memiliki peran penting dalam membantu pemerintah melihat kondisi terkini di lapangan. Apalagi, tidak ada sistem yang dirancang dan dipersiapkan khusus untuk menangani pandemi seperti saat ini.

“Kita memiliki rumah sakit di RRT, Myanmar, Jepang, dan 106 klinik di Singapura. Mulai akhir Desember, kita yang dipanggil oleh pemerintah untuk mejelaskan apa yang terjadi. Ternyata ini pandemi bukan epidemi, dan hal tersebut pun terjadi. Maka hal pertama yang dilakukan di luar negeri adalah melakukan testing,” ujar James dalam diskusi virtual yang digelar Universitas Pelita Harapan (UPH) dan Berita Satu Media Holdings (BSMH) bertajuk “Gaduh Gara-gara Covid-19” di Jakarta, Rabu (13/5/20) lalu.

Dengan mempelajari alur penanganan Covid-19, James pun sependapat, melakukan tes massal dalam situasi seperti ini merupakan kuncinya. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan diri pada prediksi terburuk, 12 atau 24 bulan ke depan vaksin belum juga ditemukan.

Tes massal dan ketersediaan ‘reagen’

James mengatakan, tanpa melakukan tes, pihak rumah sakit ataupun petugas medis tidak dapat melakukan perawatan khusus untuk pasien yang terindikasi Covid-19, melakukan isolasi, dan juga melakukan penelusuran kontak.

Saat ini di Indonesia, James menganggap, tes massal sudah dilakukan dengan baik. Terlebih, pemerintah juga telah membuka kesempatan pihak swasata yang telah memenuhi standar tempat dan pelayanan untuk membantu melakukan tes dan menangani pasien Covid-19.

Selain tes massal, hal lain yang menjadi sorotan pemerintah ialah ketersediaan reagen dan kurangnya tenaga medis. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, Indonesia memiliki ketersediaan reagen yang cukup.

“Di lab kita, kita ini punya 100.000 reagen, mau dapat 200.000 pun bisa. Namun, sistem di Indonesia yang disetujui hanya reagen dari Roche karena hanya Roche yang selama ini mendaftar di Indonesia. Kalau kita tidak terpaku dengan satu reagen itu dan kita membuka, ternyata banyak. Sekarang yang kita pakai, yang lain juga mulai pakai yang sama. Reagen ini sebenarnya bukanlah masalah,” ungkapnya.

Bayar upah sepadan untuk tenaga medis

Kemudian, untuk tenaga atau sumber daya, menurutnya, jika pemerintah bersedia membayar dengan upah yang sepadan, sehingga ketersediaan tenaga di Indonesia itu akan banyak.

“PCR di seluruh Indonesia mungkin ada 150 sampai 200 PCR. Melakukan satu tes PCR per hari kalau ada dua sampai tiga sheet, dia mampu dalam sehari mencapai 300 hingga 500 kasus pasien. Dengan demikian, semestinya kapasitas ini ada untuk bisa dikembangkan. Bukan hanya dengan banyak, tetapi juga cepat. Kalau tenaganya ada, PCR testing mestinya bisa memberikan hasil tujuh hingga delapan jam bisa dapat hasil,” tuturnya.

Selanjutnya, menyoroti ketersediaan fasilitas di rumah sakit. Hal yang masih menjadi persoalan ialah minimnya kapasitas tempat tidur ruang ICU. Mengingat penambahan pasien Covid-19 yang terus meningkat, fasilitas tersebut sudah sepatutnya tersedia.

“Jadi kalau Jabodetabek dengan 30 juta penduduk, kalau 0,1 persen aja kena Covid-19 itu sudah 30.000 dan kalau 10 persen sekitar 3.000 pasien perlu ICU bed khusus Covid-19, tidak tersedia di Jakarta. Estimasi kita itu kira-kira hanya ada maksimum 1.000 bed (di Jakarta). Untuk kategori 1, berat, dan komplikasi butuh ICU dan ventilator. Kita tidak punya kapasitas sebanyak itu, dan harus ditingkatkan,” jelasnya.

Belajar dari negeri lain

Ia pun optimistis, dalam masa krisis ini, Indonesia akan bisa meningkatkan pelayanan dan penanganan kasus Covid-19 dengan baik. Apalagi setelah belajar dari pengalaman pemerintah Singapura saat menghadapi SARS.

“Saat SARS mereka mengambil suatu keputusan bahwa setiap rumah sakit mutlak harus menyediakan 20 hingga 30 ICU bed, ruang isolasi, dan tekanan negatif. Pemerintah memberikan uang instentif dan mengatakan sudah tenang boleh gunakan ICU, tetapi saat ada pandemi pemerintah boleh menguasai ICU bed, karena itulah dia punya angka kematian yang rendah di sana. Ini yang perlu kita pikirkan,” tuturnya.

Kemudian, persoalan yang tidak kalah penting yaitu menyangkut roda perputaran ekonomi yang mulai goyah. Pasalnya, seluruh sistem keuangan pasar modal, perbankan, dan sebagainya itu berdasarkan cashflow atau pendapatan di lapangan.

“Sekarang dengan lockdown, cashflow di lapangan menjadi zero. Kita sendiri sudah tutup 600 toko, 70 mal, dan hotel. Kalau di lapangan 0, tidak ada bayar sewa, bunga, dan mau tidak mau harus dibuka. Namun kalau mau dibuka, persiapan dunia kesehatan ini harus siap,” demikian James Riady. (B-BS/jr)

Related Articles

Stay Connected

0FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles