BENDERRAnews.com, 28/10/20 (Jakarta): Masyarakat Indonesia seyogianya menghormati kesakralan hari Sumpah Pemuda. Caranya, mengisinya dengan kegiatan-kegiatan yang konstruktif bagi bangsa dan negara. Demikian harapan dan permintaan pakar politik lulusan Universitas Walden Amerika Serikat, Boni Hargens, dan para fungsionaris DPP GPPMP 14.02.46.
Boni dan DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP) mengimbau, agar masyarakat tidak melakukan aksi anarkis yang bisa mencoreng kesakralan peringatan Sumpah Pemuda.
“Pada 28 Oktober, saya mengajak masyarakat khususnya kaum muda untuk hindari berbagai provokasi politik dan hasutan untuk melakukan anarkisme dalam menyampaikan pendapat di ruang publik. Hindari kebiasaan hoax dalam berpendapat di dunia maya. Generasi muda harus menjadi yang terdepan dalam membangun narasi positif dan rasional di ruang publik,” ujar Boni dalam keterangannya, Selasa (27/10/20).
Hal senada dinyatakan Ketua DPP (GPPMP), Jeirry Sumampouw, atas nama organisasinya. “Ingat, momentum Sumpah Pemuda merupakan salah satu sumber inspirasi kaum kebangsaan berjuang menuju kemerdekaan Republik Indonesia melalui Proklamasi yang dibacakan Bung Karno, diikuti penegakkan bendera Merah Putih di seanteru negeri, termasuk di ‘Bumi Nyiur Melambai’ Sulawesi Utara pada 14 Februari 1946 oleh BW Lapian, Ch Ch Taulu, Mambi Runtukahu, SD Wuisan, Sitam dkk,” demikian Jeirry meneruskan pesan kebangsaan Ketum DPP GPPMP, Jeffrey Rawis.
Karena itu, GPPMP mengajak generasi masa kini agar menghormati ikrar yang sudah dinyatakan oleh berbagai representasi pemuda Nusantara pada 28 Oktober 1928, yang mengaku bertanah air (nusa) satu, berbangsa satu dan berbahasa satu: Indonesia.
“Jangan ada pengingkaran di antara kita lewat penyebaran berbagai opini sesat yang belum terklarifikasi keabsahan serta akurasimya, lalu sengaja disebar via media sosial (Medsos). Tanpa disadari, mereka yang berbuat itu telah menjadi kepanjangan tangan dan penyang lidah (corong) kaum yang menghendaki disintegrasi bangsa yang besar anugerah Tuhan ini. Hormatilah sejarah dan para pelaku sejarah kebangsaa kita, termasuk yang ikut dalam Kongres Pemuda 1928 tersebut,” demikian DPP GPPMP.
Sejarah itu sakral
Sementara itu, Boni mengatakan, pada 28 Oktober 1928, para pemuda mengikrarkan Indonesia sebagai satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Disebutnya, peristiwa sejarah itu sakral dan menjadi bagian sentral dari perjalanan historia bangsa dan negara Indonesia.
“Sudah selayaknya generasi bangsa hari ini memperingatinya sebagai momen sejarah yang penting. Perjuangan menjadi Indonesia adalah perjuangan tiada henti dalam mewujudkan cita-cita menjadi bangsa yang satu, adil, dan makmur,” tutur Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) ini.
Boni mengatakan, tiap zaman mempunyai tantangannya sendiri. Para pemuda sebelum dekade 1940-an tentu berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme asing. Tetapi para pemuda pada zaman sekarang berjuang melawan lebih banyak lagi musuh.
Disebut Boni, musuh itu bisa datang dari dalam dan bisa dari luar. Musuh dari dalam misalnya terorisme, radikalisme, dan separatisme.
“Musuh dari luar ada yang kelihatan dan ada yang tidak kelihatan. Jaringan terorisme itu berbasis internasional. Itu musuh yang kelihatan. Dominasi pasar dan penguasaan infrastruktur digital seperti over the top (OTT) masih dihantui kekuatan asing. Kita bisa menyebutnya kolonialisme digital di zaman modern. Itu contoh tantangan yang harus dihadapi bangsa Indonesia hari ini dan masa depan,” jelasnya.
Oleh karena itu, kata Boni, peringatan Sumpah Pemuda kali ini harus dimaknai dalam konteks bangsa Indonesia yang sedang menghadapi musuh dari dalam dan luar.
Kata Boni, diperlukan ketangguhan dan kesiapan generasi muda dalam menghadapi perkembangan era kekinian.
“Jadi, kaum muda harus berjuang mengembangkan potensi dan kompetensi di bidang keilmuan dan keterampilan. Begitulah cara kita mengisi kemerdekaan dan menjadi Indonesia di zaman modern,” pungkas Boni.
Johanna Tumbuan pembaca Sumpah Pemuda
Berikutnya, redaksi menurunkan secuil kisah seputar momentum Sumpah Pemuda, seperti dilansir gpmpi.com, bersumber dari historia.id oleh Ferry Rende, Ketua DPD GPPMP Sulawesi Utara.
Wage Rudolf Supratman tersenyum lebar ketika mendapati banyak perempuan yang hadir dalam Kongres Pemuda Indonesia II pada 27-28 Oktober 1928. Dari pengamatannya, jumlah pengunjung perempuan jauh meningkat dibanding saat Kongres Pemuda I, dua tahun sebelumnya.
Bambang Sularto dalam memoar Wage Rudolf Supratman (1980: 40) mengisahkan kegiatan Supratman di siang hari selama berlangsungnya kongres kedua. Supratman sempat berkeliling sambil membuat catatan mengenai jumlah peserta perempuan yang ditemuinya. Paling tidak ada sepuluh perempuan yang hadir, dan empat orang di antaranya sudah dikenalnya dengan baik. Mereka ialah Nona Purnomowulan, Nona Tumbel, Siti Soendari, dan Suwarni Pringgodigdo.
Namun ternyata masih ada beberapa nama yang tidak dikenal oleh Supratman. Salah satunya Johanna Tumbuan, yang ketika itu masih berusia 18. Di hari kelahiran Sumpah Pemuda itu, Johanna hadir mewakili sayap pemudi Jong Minahasa.

Dua tahun sebelumnya, Johanna meruoakan seorang gadis yang berbeda. Ia tak seperti siswa-siswa MULO lainnya yang antusias menyambut Kongres Pemuda I di Batavia pada April 1926. Banyak kawan-kawan MULO-nya yang tertarik terjun ke organisasi. Johanna justru sebaliknya, ia tidak peduli.
Orang tua Johanna memang ingin agar anak gadis satu-satunya itu fokus menuntut ilmu, lalu pulang kampung ke Sulawesi Utara menjadi perempuan berpendidikan kebanggaan keluarga. Sebagai anak orang kaya, Johanna dididik untuk tidak perlu memikirkan segala urusan pergerakan, apalagi melawan pemerintah kolonial.
Sikap Johanna mulai berubah tatkala berjumpa dengan mahasiswa STOVIA bernama Masdani. Dari Masdani, Johanna mulai belajar tentang arti pergerakan. Bersama-sama, mereka sering mengkoordinasi gerakan-gerakan sosial dan terlibat dalam pertemuan pemuda. Ujung-ujungnya, mereka pun berpacaran dan menikah di Jakarta pada 1942.
Berkat ajakan Masdani pula Johanna berkesempatan menjadi salah satu dari sepuluh perempuan pengikrar Sumpah Pemuda. Dari situ, aktivitas pergerakan Johanna berlanjut sepanjang masa revolusi. Jasanya yang paling besar ialah memprakarsai pembangunan Tugu Peringatan Proklamasi Kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat, pada 1946.
Merantau dan membabat sekat sukuisme
Johanna Nanap Tumbuan lahir di Amurang, Sulawesi Utara, pada 29 November 1910. Ia merupakan putri seorang juragan perkebunan kelapa bernama Alexander Tumbuan. Sejak kecil Johanna dibesarkan dalam keluarga elite yang mendidik anak mereka secara Barat.
Sebagai anak perempuan satu-satunya, Johanna sangat dimanja kedua orang tuanya, terutama oleh sang ibu, Henriette Mosal. “Ibu memperlakukan saya seperti porselen,” ujar Johanna dalam sebuah wawancara dengan majalah Gatra (2/11/1998).
Menjadi perempuan dari keluarga kaya dan terpandang menuntut Johanna untuk jadi orang terpelajar. Sesudah menamatkan pendidikan dasar di Amurang, Johanna dikirim merantau ke Batavia pada 1926. Dimulailah hari-hari Johanna sebagai siswi sekolah menengah Christelijke MULO di Jalan Kwini.
Di tahun pertamanya menuntut ilmu, Johanna tidak kekurangan suatu apapun. Dia hidup enak. Setiap hari pergi ke sekolah kemudian pulang ke asrama yang nyaman tanpa membawa beban. “Tiap bulan saya dikirimi uang cukup. Dua ratus gulden lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanan di Jakarta,” aku Johanna.
Kehidupan Johanna yang serba monoton berubah 180 derajat tatkala mulai berpacaran dengan Masdani, seorang pemuda Jawa yang sedang menuntut ilmu kedokteran di STOVIA. Perlahan tapi pasti, Johanna terpengaruh sikap kekasihnya yang simpatik dan revolusioner itu. Tak butuh waktu lama sampai Johanna akhirnya mau bergabung ke dalam organisasi kepanduan Indonesische Nationale Padvinders Organisatie (INPO) dan aktif di Jong Minahasa sedari 1927.
Di luar dugaan, Johanna menikmati bergaul dengan pemuda dan pemudi dari berbagai suku bangsa, khususnya Jawa. Dari sekian banyak kegiatan amalnya, Johanna belajar banyak jenis adat dan kesenian Jawa. Dalam pertunjukan amal untuk korban meletusnya Gunung Merapi tahun 1931, ia pernah tampil sebagai tokoh Chandra Kirana dan mengenakan kemben.
Rupanya, pertunjukan Johanna mendapat perhatian dari seorang wartawan. Foto-foto Johanna berbusana Jawa pun masuk ke surat kabar dan tiba di atas meja sarapan Alexander di Amurang. Sang ayah marah, terlebih ketika mengetahui putrinya berpacaran dengan orang Jawa.
“Saat itu, sukuisme kuat sekali. Saya hanya boleh menikah dengan sesama Manado dari keluarga terpandang,” kenang Johanna kepada Gatra.
Ditampar serdadu Jepang
Melihat pola Johanna, Alexander pun berhenti mengirim uang sembari berharap putrinya akan insaf dan pulang. Namun Johanna tidak goyah. Kendati harus putus sekolah dan berjuang menghidupi diri dengan bekerja sebagai juru ketik di Departmenvan Financien, Johanna tidak ingin memutus hubungan dengan Masdani yang dinilainya punya persamaan cita-cita.
“Idealisme kami amat indah. Benih-benih nasionalisme tumbuh subur merasuk jiwa, menembus sekat-sekat sukuisme dan golongan, demi kebangkitan bangsa,” ujar Johanna bangga.
Dengan biayanya sendiri Johanna berhasil mengantongi ijazah Kweek School (sekolah guru). Johanna kemudian aktif sebagai pengajar di beberapa perguruan rakyat di Batavia, sambil terus menenggelamkan diri ke dalam kegiatan organisasi perempuan.
Berdasarkan memoar yang dikumpulkan Lasmidjah Hardi dalam “Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi: Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran”, Jilid V (1984: 39-40), Johanna pernah menjadi pembangkang selama masa pendudukan Jepang. Tak seperti perempuan-perempuan anggota organisasi lainnya yang terpaksa menurut dan menggabungkan diri ke dalam Fujinkai, Johanna kukuh menolak bekerja sama dengan Jepang.
Kendati demikian, ia sempat belajar bahasa Jepang untuk beberapa saat dan akhirnya memutuskan berhenti lantaran merasa marah kepada Jepang. Keputusan untuk berhenti timbul setelah seorang serdadu Jepang mendatangi dan menamparnya di depan umum hanya karena ia tidak memberi hormat.
Perancang Tugu Proklamasi
Selepas Kemerdekaan, perjuangan Johanna tak lantas usai begitu saja. Pada 1946, di usia 36, Johanna menjadi salah satu dari beberapa aktivis perempuan yang berperan penting dalam peringatan satu tahun lahirnya Republik Indonesia.
Johanna mengemban misi khusus yang datang dari perkumpulan mahasiswi dan perempuan Jakarta. Pada Juni 1946 mereka meminta Johanna untuk menjadi Ketua Pemrakarsa Pembuatan Tugu Peringatan Satu Tahun Proklamasi yang rencananya akan dibangun di halaman gedung Jalan Pegangsaan Timur 56.
Awalnya Johanna ragu menerima tugas itu. Perkara dana menjadi kecemasannya yang pertama. Disebut Johanna, akan sangat sulit menggalang dana dalam kondisi kritis Kota Jakarta yang tengah diduduki tentara Sekutu. Namun kegundahannya luruh setelah mendengar saran suaminya.
“Suami saya memberi semangat agar saya harus membuktikan bahwa saya, wanita Indonesia sanggup melaksanakan tugas itu,” kata Johanna seperti dikutip Femina (16/8/1983).
Johanna dengan giat melakukan penggalangan dana. Dibantu perempuan-perempuan anggota organisasi di Jakarta, pekerjaan itu pun usai hanya dalam kurun dua bulan. Selain mengepalai seluruh kegiatan pembangunan, Johanna juga bertindak sebagai perancang gambar bangunan. Johanna pula yang bertugas memilih tiga potong marmer yang masing-masing berisikan tulisan “Dipersembahkan oleh wanita republik,” teks proklamasi kemerdekaan, dan gambar peta Indonesia.
Disebut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia, Volume 3 (2004: 146), meski sempat mendapat tentangan dari tentara Sekutu, Johanna tetap bersemangat menyambut acara peresmian tanggal 17 Agustus 1946. Bahkan Johanna menolak pulang dan tetap di tempat untuk berjaga. Ditemani tidak kurang dari 200 siswa dan siswi sekolah menengah, Johanna menyalakan bara api dan melek bersama sampai pagi. Demikian secuplik kisah salah satu tokoh kebangsaan yang ikut menacatkan sejarah Sumpah Pemuda hingga Kemerdekaan RI. Merdeka!!! (B-BS/GC/HI/fr/jr)



