BENDERRAnews, 30/5/17 (Yogyakarta): Sosok remaja putri bernama lengkap Asa Firda Inayah ini kini menjadi sebuah ‘ikon kebangsaan baru’ di era Indonesia yang sedang diganggu keteguhan ideologinya.
Ya, remaja yang baru saja lolos dari bangku SMA 1 Gambiran Banyuwangi, ini ternyata berani meminta agar para profesor di negeri ini agar: “berani bersuara bersuara dan berani mengubah pola didik di bangku sekolah”.
“Masalahnya”, ujar aktivis media sosial yang menggunakan nama Afi ini, “ujaran kebencian, radikalisasi dan tindak anarkistis, dimulai dari bangku sekolah, bahkan di tingkat sekolah dasar (SD)”.
Tersebutlah dalam Diskusi Kebangsaan yang digelar Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Senin (29/5/17) kemarin, Afi dengan lantang mengatakan, sebagai anak bangsa, dia resah dengan kondisi bangsa yang carut-marut.
Afi pun mempertanyakan rasa ‘kebangsaan’ dari para pendidik di Indonesia.
“Riil, fakta, saya tahu sendiri bahwa banyak guru di sekolah yang mengajarkan siswanya untuk saling membenci. Anti agama lain, benci ras lain. Karena itu, kepada para profesor, benahi cara mengajar,” tandasnya.
Diskusi yang dipandu dosen Fisipol UGM, Dr Abdul Gaffar Karim itu, dihadiri civitas akademika UGM juga masyarakat umum, termasuk Wakil Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih.
Afi diteror
Gadis kelahiran Banyuwangi, 23 Juli 1998 itu, tak segan-segan mengkritik berbagai pandangan agama yang ingin mencari menang sendiri.
Baginya, semua umat pasti menganggap agamanya ialah yang terbaik. Pandangan itu tidak keliru, tetapi harusnya diterapkan pada diri sendiri untuk memupuk keimanan dan bukannya untuk memaksakan kehendak kepada orang lain.
Berasal dari desa di Banyuwangi Selatan, anak pasangan Wahyudi dan Sunarti itu pun membenarkan, kalau tulisannya yang berjudul ‘Warisan’, sempat membuatnya kehilangan akun Facebook-nya selama dua hari.
Selain itu, teror secara verbal pun diterimanya hingga ancaman akan dibunuh, jika dia terus menyerukan suara perdamaian.
Kodrat dan pilihan
Afi pun menceritakan, ‘Warisan’ merupakan sebuah kegalauannya akan fenomena kebhinekaan di Tanah Air.
“Pertama, kita harus hidup bersama-sama dengan warisan masing-masing, baik yang bisa kita pilih maupun tidak. Warisan yang tidak bisa kita pilih kodrat dari Tuhan di antaranya jenis kelamin dan ras. Warisan yang bisa kita pilih adalah agama. Semua keyakinan memiliki kebenaran masing-masing dan tidak perlu diributkan,” katanya.
Komentar pro dan kontra dari 10 ribu orang lebih, bahkan ancaman akan dibunuh, tidak lantas menyurutkan niat Afi, untuk menggelorakan semangat persatuan.
“Saya pernah ditelpon orang dan diancam akan dibunuh. Intinya saya diminta berhenti menulis tapi saya tidak takut karena niatan saya baik,” tegasnya lagi.
Agama nenek moyang
Afi pun mendapat pertanyaan dari seorang perserta, ada seorang mantan Guru Besar UGM yang terang-terangan menyatakan kalau pada tahun 2040 nanti, Indonesia pasti akan menjadi Negara Khilafah Islam.
Menanggapi pertanyaan itu, dengan sigap Afi meminta kepada mantan Guru Besar UGM itu untuk melihat kembali buku Sejarah SD.
“Kalau mau, nanti saya pinjamkan. Di buku Sejarah SD itu jelas-jelas tergambar, bahwa sebelum Islam masuk ke nusantara, nenek moyang kita beragama Budha dan Hindu. Kalau mereka yang beragama Budha dan Hindu juga menuntut Indonesia harus berdasar agama mereka, akan seperti apa kita nanti,” ungkap Afi seolah memberi pengertian (kepada sang guru besar, Red).
Akankah Indonesia akan seperti Afganistan dan Suriah? Afi berpendapat, semuanya tergantung kepada bangsa.
Indonesia sudah punya Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pakem bernegara. Karena itu, Afi yang mengaku ingin kuliah di jurusan Psikologi ini menyatakan, sangat tidak tepat memaksakan sebuah agama untuk menjadi dasar negara.
“Tak bisa Indonesia didasarkan konsep agama, apapun itu. Indonesia tetap berdasar Pancasila dan sampai kapanpun harus seperti itu. Kalau kita berdasar agama baru akan sadar dan menyesal ketika nanti seperti Afghanistan atau Suriah dan saya tak ingin hal itu terjadi,” tandasnya dengan penuh semangat, sebagaimana dilansir ‘Suara Pembaruan’ langsung dari lokasi kejadian.
Dalam dialog tersebut, Afi juga mengajak generasi muda untuk berkarya bagi bangsa Indonesia untuk tetap menjunjung tinggi Pancasila dan Kebhinekaan sebagai dasar Indonesia. “Kalau bahasan mudahnya, saya yang hidup di pelosok dan dengan keterbatasan tapi bisa berkarya. Kalau saya saja bisa mengapa anda tidak,” imbuhnya tersenyum.
Pada pertanyaan lain, terkait efek dari tulisannya, yang memunculkan pro dan kontra juga kemungkinan membawa perpecahan baru, Afi menakankan, “apa yang saya tulis justru ingin menggugah ‘rasa kebangsaan’”.
“Perpecahan bukan karena kebebasan berpikir, tapi karena memaksakan pikiran kita pada orang lain. Di akhir tulisan, saya selalu mengajak pembaca berpikir, bukan meminta mereka harus begini atau begitu, apakah begitu bahaya mengajak orang beragama berpikir terbuka,” tanya Afi yang disambut tepukan ratusan peserta diskusi.
Peringatan lahirnya Pancasila
Dekan Fisipol UGM, Erwan Agus Purwanto mengatakan, keputusan mengundang Asa Frida Inayah merupakan murni kegiatan diskusi yang sekaligus bertepatan dengan peringatan hari lahir Pancasila.
Disebut Erwan, saat ini Indonesia khususnya generasi muda punya tantangan bagaimana mengelola keberagaman berlandas Pancasila.
“Afi ini jadi salah satu representasi anak muda yang berusaha merawat kebhinekaan itu Indonesia melalui tulisan dan buah pikirannya. Tantangan besar untuk kita semua memang dan sepertinya memang kita butuh sosok generasi muda yang berani bersuara untuk bangsa ini,” demikian Erwan Agus Purwanto. (B-SP/jr)
