BENDERRAnews, 2/8/19 (Jakarta): Berdasarkan kajian matang, pemindahan ibukota negara yang direncanakan dari Jakarta ke Pulau Kalimantan diperkirakan menelan investasi Rp466 triliun.
Namun, anggaran itu nantinya tidak sepenuhnya ditanggung oleh negara, tetapi juga melibatkan banyak pihak, termasuk investasi swasta, di mana investasi dilakukan dengan pola tahun jamak (multi years).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, mengatakan, jumlah investasi yang cukup besar tersebut merupakan pemerataan stimulus ekonomi.
“Sebenarnya kalau kita lihat, bikin ibukota baru itu kira-kira Rp400-an triliun. Investasi sebesar itu tidak semua dibebankan kepada APBN. Sebagian dari pemerintah, sebagian lagi dari swasta yang nanti mengelola. (Jadi) Ini jadi stimulus ekonomi juga,” jelas Luhut.
Pemerintah serius
Studi mendalam dan komprehensif saat ini tengah dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Ia juga menegaskan, pemerintah serius untuk memindahkan ibukota dari Jakarta. Pembahasan pun sudah dilakukan sejak tiga tahun lalu di rapat-rapat kabinet.
Selama 1,5 tahun, Bappenas melakukan kajian yang lebih detil dari sisi ekonomi, politik, lingkungan atas rencana tersebut.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas Lembong, menilai, pemindahan ibukota bisa menjadi stimulan investasi yang sangat besar.
“Kalau wacananya adalah 33 miliar dolar AS atau lebih dari Rp466 triliun, tentu sebuah jumlah investasi yang sangat besar. Dari sisi upaya-upaya menggenjot investasi, saya menyambut sangat baik. (Ini) sangat positif andaikata perpindahan ibu kota benar-benar bisa dijalankan,” katanya, seperti ditulis ANTARA.
Aplikasikan teknologi baru
Tom, demikian sapaan akrab Thomas, menambahkan, meski punya potensi bagus menggenjot investasi, ia berharap pemindahan ibukota bisa dilakukan secara visioner.
Artinya, ibu kota baru harus dibangun dengan mengaplikasikan lebih banyak teknologi baru seiring dengan perkembangan industri 4.0.
Di beberapa negara, angkutan kargo yang menggunakan “drone” (pesawat nirawak) semakin lazim dan banyak dijalankan. Desain ibukota baru juga diharapkan bisa mengakomodasi lalu lintas “drone”, kendaraan otonom hingga transportasi berbasis listrik.
“Hal seperti itu akan lebih baik untuk investasi dengan produktivitas tinggi. Harapan saya adalah langsung membangun infrastruktur abad 21, bukan lagi infrastruktur abad 20 atau malah abad 19,” katanya.
Sektor nontradisional
Sementara itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menambahkan, pemindahan ibukota ke luar Pulau Jawa akan menciptakan nilai tambah ekonomi pada sektor nontradisional di kawasan tersebut.
“Dengan adanya ibukota baru di Kalimantan, maka akan muncul sektor baru di Kalimantan,” kata Bambang.
Pemindahan ibu kota di Kalimantan dapat memunculkan sektor jasa baru dan akan melengkapi sektor jasa yang sudah ada di sana sebelumnya. Hal tersebut, akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian di wilayah tersebut.
Dampak ekonomi itu akan lebih maksimal jika dibarengi dengan peningkatan produktivitas, inovasi dan teknologi di provinsi yang terpilih dan sekitarnya.
Saat ini, perekonomian di Kalimantan masih bergantung pada sektor tradisional. yaitu sumber daya alam berbasis tambang, hutan dan perkebunan.
Tambah PDB
Dalam kesempatan yang sama, Bambang mengatakan, rencana pemindahan ibu kota negara ke luar Pulau Jawa akan menambah pendapatan domestik bruto (PDB) sebesar 0,1 persen.
Diperkirakan, jika pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen, dengan adanya proyek kegiatan pembangunan ibukota baru, akan bertambah menjadi 5,1 persen.
Angka 0,1 tersebut dianggap tidak tergolong kecil, karena PDB Indonesia saat ini sekitar Rp15 ribu triliun. Sehingga, dampak langsung diperkirakan ialah sebesar Rp15 triliun akibat adanya pemindahan ibu kota.
Bambang juga berpendapat, perpindahan ibukota negara ke luar Pulau Jawa akan mendorong perdagangan antarwilayah di Tanah Air.
“Ini merupakan salah satu dampak positif pemindahan ibu kota, tentunya mendongkrak pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah,” katanya.
Perdagangan antarwilayah tersebut, tidak hanya antara Jakarta dan Pulau Jawa atau daerah lain, tapi juga mendorong perdagangan ke seluruh provinsi.
Berdasarkan hitungan Bappenas, lebih dari 50 persen wilayah Indonesia akan merasakan peningkatan arus perdagangan jika ibukota jadi dipindahkan ke provinsi yang memiliki konektivias baik dengan provinsi lain.
Selain itu, pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa akan mendorong pertumbuhan investasi di provinsi ibukota yang baru beserta provinsi sekitarnya, terutama berdampak pada investasi di bidang jasa.
Contoh negara lain
Sebagai contoh, studi yang dilakukan pada 2015 tentang dampak pemindahan IbuKota Brasil dari Rio De Janeiro ke Brasilia.
Berdasarkan hasil studi tersebut, pemindahan IbuKota Brasil tidak menimbulkan kerugian ekonomi pada ibukota sebelumnya.
Sementara, kota baru Brasilia mengalami dampak positif yang signifikan, yaitu di 10 tahun pertama pascapemindahan ibukota, pertumbuhan penduduk per tahun 14,14 persen.
Kemudian, efek penciptaan lapangan kerja sebesar 1,7 persen. Artinya 1,7 persen pekerjaan swasta tercipta dari sekian penambahan pekerjaan di sektor publik.
Berdasarkan studi tersebut, pemerintah menyimpulkan, perkiraan hitungan output multiplier dari pemindahan ibukota baru terhadap perekonomian nasional sebesar 2,3 persen.
Butuh lima tahun
Duta Besar Brazil untuk Indonesia, Rubem Barbosa mengatakan, pemerintahnya membutuhkan waktu lima tahun untuk membangun infrastruktur dasar saat pemindahan ibukota dari Rio de Janeiro ke Brasilia.
Disebut Rubem, tantangan yang dihadapi pemerintah Brazil dalam lima tahun pertama pembangunan ibukota baru di Brasilia ialah harus membangun dari nol dan tidak ada penghuninya.
Pemerintah harus memindahkan penduduk, selain membangun infrastruktur awal. Penduduk awal di sana terdiri dari para pegawai pemerintahan dan pekerja yang turut membangun Kota Brasilia.
“Pembangunan ibukota Brasilia dibangun dari tahun 1956 hingga tahun 1961 di era pemerintahan Presiden Juscelino Kubitschek,” katanya.
Tantangan lain, biaya pembangunan yang terus membengkak membuat inflasi, sehingga memicu kenaikan harga. Meski begitu, pembangunan kota baru tetap merupakan peluang bagi banyak orang untuk mencari solusi kehidupan yang lebih baik.
Ia menjelaskan, ide utama membangun Brasilia sebagai ibukota negara baru didasari atas perkembangan Rio de Janeiro yang terlalu cepat, sehingga tidak bisa mengakomodasi pemerintahan lagi.
Selain itu, menjadi kewajiban pemerintah untuk pemerataan populasi dalam kaitannya dengan memaksimalkan wilayah yang dimiliki negara.
“Berbeda dengan Indonesia, waktu itu kami harus membangun Brasilia dari awal, sekitar 1.200 km dari Rio, di mana tidak ada apa-apa di sana pada waktu itu, tidak ada jalan, tidak ada rel kereta, benar-benar operasi besar-besaran yang membutuhkan waktu sekitar 3,5 tahun. Awalnya untuk mengakomodasi satu juta penduduk, tapi sekarang sudah 3,3 juta penduduk,” katanya.
Fasilitas nelayan
Sebagai negara kepulauan, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati mengingatkan, pemindahan ibukota ke lokasi baru di luar pulau Jawa juga harus menyiapkan fasilitas memadai bagi kalangan nelayan tradisional yang tinggal di sekitar ibu kota baru tersebut.
“Jika nanti kita pindah ibu kota, negara harus siapkan betul fasilitas perahu dan alat tangkap bagi nelayan,” kata Susan Herawati.
Selain itu, ujarnya, pemerintah juga harus memahami betul-betul karakteristik nelayan dan kondisi geografis yang mempengaruhi kehidupan nelayan di sekitar ibu kota baru karena situasi laut menentukan perahu dan jenis tangkapannya.
Susan berpandangan, bila berbagai fasilitas bagi nelayan itu tidak disiapkan dengan betul, kinerja sektor perikanan nasional ke depannya juga tidak akan maksimal.
Sekjen Kiara juga berpendapat, akses yang memadai ke kawasan laut ke ibukota baru merupakan hal yang sangat penting. “Kalau ibukota di pesisir itu artinya pembangunan akan masif dilakukan di pesisir,” katanya.
Pergeseran aktivitas ekonomi
Sebelumnya, Indonesia for Global Justice (IGJ) juga menyatakan bila pemindahan ibukota dari Jakarta juga akan mendorong pergeseran aktivitas ekonomi ke lokasi baru tempat bakal dibangunnya kota tersebut.
“Sebenarnya, efek itu terjadi karena adanya kebutuhan pasar baru di wilayah tersebut. Perpindahan penduduk misalnya, tentu akan mendorong pergeseran pasar juga ke wilayah tersebut,” kata Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti.
Apalagi, kebutuhan untuk pembangunan infrastruktur dan properti juga akan meningkatkan konsumsi di wilayah ibukota baru, sehingga pemerintah juga harus benar-benar mempersiapkannya.
Dengan perencanaan yang apik dan contoh kesuksesan dari negara lain, diharapkan Ibukota Negara RI yang baru juga akan mewujudkan pemerataan ekonomi berkeadilan di bumi Indonesia. (B-ANT/jr)
