BENDERRAnews, 23/12/19 (Jakarta): Hmmmm…di tengah berkembangnya beberapa pendapat, Ketua Tanfidziah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Robikin Emhas, mengatakan, umat Muslim boleh mengucapkan selamat Natal kepada penganut agama Kristen atau Katolik.
Robikin mengakui, ulama-ulama Muslim memang memiliki beberapa pendapat terkait ucapan selamat Natal. Ada ulama yang melarang, karena khawatir mengganggu akidah.
“Namun, ada juga yang membolehkan dengan pengertian ucapan Natal sebagai bagian dari kesadaran bermuamalah, sekadar hormat kepada kawan atau berempati kepada sesama warga bangsa, itu dimensinya ‘ukhuwah wathaniyah’. Kalau dalam dimensi itu, menyampaikan ucapan Natal saya kira tidak mengganggu akidah kita,” ujar Robikin seperti dilansir ‘Beritasatu.com’, Minggu (21/12/19).
Dalam konteks ini, Robikin setuju pendapat ulama asal Mesir Syekh Yusuf Qaradhawi yang menyatakan, boleh atau tidaknya ucapan selamat Natal dari Muslim kepada Nasrani itu dikembalikan kepada niatnya. Disebutnya, jika berniat hanya untuk menghormati atau berempati kepada teman yang nasrani, tidak masalah.
“Indonesia kita ini kan negara majemuk. Apalagi ucapan Natal itu dimaksudkan sebagai ungkapan kegembiraan atas kelahiran Nabi Isa AS sebagai rasul,” tandasnya.
Pererat tali kebangsaan
Robikin mengatakan, momentum Natal justru bisa menjadi ajang untuk mempererat dan mengikat kembali tali kebangsaan. Meskipun, seharusnya tidak sebatas ucapan selamat Natal, tetapi bagaimana umat beragama terus membangun dialog terus menerus.
“Jauh lebih bernilai sebenarnya apabila ada kemauan bersama di antara para pemeluk agama yang berbeda untuk membuka ruang dialog antar umat. Ruang-ruang dialogis seperti ini saya kira penting untuk terus menguatkan tali persatuan kita. Meskipun berbeda keyakinan, bukankah kita tetap bersaudara dalam kemanusiaan,” jelasnya.
Dalam kaitan ucapan Natal, Robikin juga menekankan dua hal. Pertama, katanya, soal prinsip kebinekaan. Dalam konsep kebinekaan yang menjadi pilar kebangsaan, menurutnya, kemajemukan dalam masyarakat justru merupakan sumber kekuatan utama bangsa Indonesia.
“Kedua, terkait prinsip toleransi. Hidup di tengah masyarakat yang majemuk mensyaratkan pentingnya sikap lemah lembut, berlaku baik, saling menghormati, saling menghargai. Sikap yang mengedepankan pendekatan kemanusiaan semacam ini kemudian yang dikonsepsikan sebagai sikap toleransi,” ungkapnya.
Robikin memaparkan, bertolak dari sejarah mengenai akar kebudayaan bangsa Indonesia, bisa dikatakan toleransi merupakan bagian inheren dalam jati diri bangsa Indonesia. Kehidupannya ada dalam jiwa Bhinneka Tunggal Ika.
“Berpuluh bahkan beratus tahun sebelum Indonesia merdeka, bangsa kita sudah beragam suku, budaya, dan agamanya. Tetapi para leluhur kita bisa hidup rukun, damai, dan saling welas asih sebagai sesama anak bangsa,” ujarnya.
Lebih lanjut, Robikin menegaskan toleransi sesungguhnya juga bagian inheren dari ajaran agama di Indonesia. Islam, katanya, mengenal konsep ‘tasamuh’ yang juga sering diterjemahkan sebagai sikap toleransi.
“Secara umum sebagai sebuah ajaran, sikap toleran itu ada penjelasannya. Ada petunjuk-petunjuknya. Dalam hidup bermasyarakat orang harus sama-sama berlaku baik, lemah lembut, saling pemaaf, menghargai, dan seterusnya. Tetapi bagaimana berlaku baik itu, bagiamana bersikap lemah lembut itu, agama kan memberikan panduannya,” jelasnya.
Robikin mengakui, prinsip umum yang tidak boleh dilangkahi dalam menerapkan prinsip toleransi ialah ‘lakum diinukum wa liya diin’. “Artinya, bagi kalian agama kalian, bagi kami agama kami sehingga jika sudah menyangkut akidah tidak boleh kita pertukarkan”.
“Jadi, toleransi itu dimensinya ‘ukhuwah basyariyah’, persaudaraan kemanusiaan. Bukan ranah teologis. Kita cukup dengan menghargai apa yang umat agama lain lakukan dengan membiarkannya dan tidak berbuat keributan. Biarkanlah mereka lakukan apa yang mereka yakini, sedang kita fokus pada apa yang kita yakini. Itu intinya,” demikian Robikin Emhas.
Natal pemersatu bangsa
Secara terpisah, Pengurus Pusat Muhammadiyah menyampaikan pesan damai saat perayaan Hari Natal.
Muhammadiyah berharap perayaan Hari Natal dan Tahun Baru sebagai momentum mempererat persatuan bangsa.
Pesan damai perayaan Hari Natal disampaikan langsung Ketua Umum Muhammadiyah, Haedar Nashir, di Yogyakarta.
Semangat toleransi dalam perbedaan, demikian dilansir ‘Kompas.com’, seharusnya jadi sumber persatuan bangsa.
Kepada pemerintah, Muhammadiyah berharap mengutamakan dimensi kebangsaan, menghormati koridor agama masing-masing pemeluknya.
Ikat tali kebangsaan
Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mendorong momen perayaan Natal dan Tahun Baru atau Nataru 2019 menjadi ajang untuk mempererat dan mengikat kembali tali kebangsaan yang sempat kusut pasca pemilu beberapa waktu lalu.
Disebut Haedar, cara untuk mempererat dan mengikat kembali benang kebangsaan tersebut, yakni dengan menghidupkan semangat toleransi berbangsa dalam keberbedaan.
Diakui Haedar, sebagai bangsa yang majemuk, potensi untuk terjadinya gesekan di Indonesia sangat rentan terjadi.
Hal ini harus menjadi perhatian bersama dari berbagai elemen bangsa untuk merawat dan menjaganya agar gesekan itu tidak terjadi. Demikian Haedar Nashir.
Tidak pernah keluarkan fatwa
Dengan tegas, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Zainut Tauhid Sa’adi menyatakan, MUI tidak pernah mengeluarkan fatwa mengenai larangan mengucapkan selamat natal kepada umat Nasrani.
Zainut yang juga Wakil Menteri Agama mengatakan hal itu sehubungan dengan adanya polemik terkait dengan boleh tidaknya umat Islam memberikan ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani yang merayakan.
Pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, meski ada perbedaan pandangan para ulama dalam menilai masalah ini, sebagian ulama ada yang melarang dan sebagiannya lagi membolehkan.
“MUI Pusat sendiri belum pernah mengeluarkan ketetapan fatwa tentang hukumnya memberikan tahniah atau ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani yang merayakannya, sehingga MUI mengembalikan masalah ini kepada umat Islam untuk mengikuti pendapat ulama yang sudah ada sesuai dengan keyakinannya,” kata Zainut Tauhid Sa’adi kepada ‘Suara Pembaruan’, Senin (23/12/19) lalu.
Bukan keyakinan agama
MUI menghormati pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengucapkan selamat Natal itu hukumnya mubah atau boleh dan tidak dilarang oleh agama. “Karena didasarkan pada argumentasi bahwa hal itu bukan bagian dari keyakinan agama tetapi sebatas memberikan penghormatan atas dasar hubungan kekerabatan, bertetangga, dan relasi antarumat manusia,” jelas Zainut Tauhid Sa’adi.
Begitu juga sebaliknya, kata Zainut Tauhid Sa’adi, MUI menghormati pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengucapkan selamat Natal itu hukumnya haram atau dilarang oleh agama. Hal itu didasarkan pada argumentasi bahwa mengucapkan selamat Natal itu bagian dari keyakinan agamanya.
Zainut Tauhid Sa’adi mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk arif dan bijaksana dalam menyikapi perbedaan pendapat tersebut dan tidak menjadikan polemik yang justru dapat mengganggu kerukunan dan harmoni hubungan internal maupun antarumat beragama.
Masyarakat diimbau terus menjaga dan memelihara kerukunan dan persaudaraan di antara sesama anak bangsa menjelang perayaan Natal, baik persaudaraan keislaman, persaudaraan atas dasar kemanusiaan, maupun persaudaraan kebangsaan. “Harus dijaga demi terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis, rukun, dan damai,” katanya.
Jangan ganggu saudara Kristiani
Sementara itu, Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis mengatakan, sebagai umat beragama yang hidup berdampingan, harus mempersilakan umat agama lain untuk menjalankan ajaran agamanya.
“Jangan mengganggu saudara Kristiani yang merayakan Natal. Kita persilakan untuk merayakannya dan mudah-mudahan berjalan aman dan lancar. Ini bentuk toleransi kepada mereka yang sedang merayakan ajaran agama dengan kita tetap menjaga kerukunan sebangsa dan seluruh Tanah Air,” ujar Cholil Nafis. (SP/BS/KC — foto ilustrasi istimewa)
