Pandemi Covid-19 merupakan ancaman keamanan, BIN justru wajib ikut atasi, Tjahjo apresiasi

BENDERRAnews.com, 28/9/20 (Jakarta): Untuk diketahui, ancaman kesehatan, seperti pandemi Covid-19 saat ini, merupakan ancaman bagi keamanan manusia.

Oleh karena itu, penanganan pandemi Covid-19 ikut menjadi urusan atau ranah Badan Intelijen Negara (BIN).

Di sisi lain, Pasal 30 huruf d Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara memberikan kewenangan kepada BIN untuk membentu Satuan Tugas (Satgas) dalam pelaksanaan aktivitas intelijen.

“Ancaman kesehatan juga merupakan bagian dari ancaman terhadap keamanan manusia yang merupakan ranah kerja BIN. Dengan dasar tersebut, BIN turut berpartisipasi secara aktif membantu Satgas Penanganan Covid-19 dengan melakukan operasi medical intelligence (intelijen medis), di antaranya berupa gelaran tes usap di berbagai wilayah, dekontaminasi, serta kerja sama dalam pengembangan obat dan vaksin,” ujar pengamat intelijen Susaningtyas NH Kertopati di Jakarta, Senin (28/9/20).

Pengamat yang akrab disapa Nuning itu mengatakan, hal seperti itu juga dilakukan di negara-negara lain, seperti Amerika Serikat yang memiliki National Center for Medical Intelligence (NCMI), dan melakukan surveillance penyakit menular di dunia. Lalu, NATO di Eropa melibatkan aktivitas intelijen dalam pengkajian infrastruktur kesehatan.

Disebut Nuning, kehadiran Satgas BIN telah mendapatkan apresiasi positif dari kementerin, lembaga, dan pemerintah daerah. Mereka justru menyampaikan permohonan kepada BIN untuk membantu pelaksanaan pelacakan kontak di wilayah atau institusinya dengan melakukan tes usap Covid-19, bahkan dengan beban anggaran operasi BIN.

Upaya-upaya yang dilakukan BIN, kata Nuning, semata-mata untuk membantu pemerintah dalam percepatan penanganan pandemi Covid-19, di antaranya melalui 3T, yakni testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan), dan treatment (perawatan). BIN juga ikut memperbanyak kapasitas tes di Indonesia yang saat ini masih di bawah rata-rata tes harian yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 1.000 tes per satu juta penduduk.

“Oleh karena itu, BIN bekerja sama dengan berbagai lembaga penelitian dan universitas yang memiliki fasilitas laboratorium biosafety (BSL) level 2 dan 3 di berbagai daerah, terutama yang masuk dalam zona merah Covid-19,” ujar Nuning.

BIN juga ikut meningkatkan kapasitas uji spesimen dengan memberikan berbagai bantuan alat laboratorium, mulai dari RT PCR hingga berbagai peralatan lainnya, seperti reagen. BIN pun membangun satu laboratorium stasioner berstandar BSL-2+ dan 4 unit laboratorium mobile berstandar BSL-2 untuk membantu mempercepat dan memperbanyak kapasitas tes, yang mampu menjangkau zona-zona merah yang sebelumnya tidak dapat dijangkau.

“Upaya 3T dimaksudkan untuk mencegah orang tanpa gejala agar tidak menjadi penyebar (spreader) merupakan perhatian kita bersama. Mengobati pasien Covid-19 dengan kondisi ringan dan sedang yang dideteksi sejak dini dari tes usap berpeluang sembuh lebih besar serta lebih murah. Jangan sampai stigmatisasi masyarakat yang kuat melekat menjadi bagian dari polemik hasil tes positif-negatif. Sebagai lini terdepan dalam keamanan nasional sebagaimana amanat UU Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara, maka BIN berkewajiban membantu pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19,” ujar Nuning.

Nuning juga mengomentari pandangan sebagian masyarakat terkait masalah akurasi hasil tes yang dilakukan BIN. Dikatakan, dalam melakukan proses uji spesimen, laboratorium BIN menggunakan dua jenis mesin RT-PCR. Yaitu jenis qiagen dari Jerman dan jenis thermo scientific dari AS. BIN juga memiliki sertifikat BSL-2 yang telah didesain mengikuti standar protokol laboratorium, telah dilakukan proses sertifikasi oleh lembaga sertifikasi internasional, World Bio Haztec (Singapura).

Selain itu, BIN juga melakukan kerja sama dengan Lembaga Biomokuler Eijkman untuk standar hasil tes. Dengan demikian, tes yang dilakukan BIN layak digunakan untuk analisis reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) yang sesuai standar.

BIN, kata Nuning, juga menerapkan ambang batas standar hasil tes PCR yang lebih tinggi dibandingkan institusi atau lembaga lain. Hal itu tercermin dari nilai CT QPCR, di mana nilai ambang batas bawahnya ialah 35. Namun, untuk mencegah orang tanpa gejala lolos skrining, BIN menaikkan menjadi 40, termasuk juga melakukan melakukan uji validitas melalui triangulasi tiga jenis gen, yaitu RNP/IC, N, dan ORF1AB.

“Dewan analis strategis intelijen medis BIN termasuk jaringan intelijen di WHO menjelaskan, fenomena hasil tes usap positif menjadi negatif bukan hal yang baru. Ada beberapa penyebabnya,” ujar Nuning.

Pertama, RNA/protein yang tersisa (jasad renik virus) sudah sangat sedikit bahkan mendekati hilang pada ambang batas, sehingga tidak terdeteksi lagi, apalagi bila subjek tanpa gejala klinis dan dites pada hari yang berbeda. Orang tanpa gejala yang mendekati sembuh berpotensi memiliki fenomena tersebut.

Kedua, terjadi bias pre-analitik, yaitu pengambilan sampel dilakukan oleh dua orang berbeda dengan kualitas pelatihan dan prosedur standar operasi yang berbeda pada laboratorium yang berbeda pula. Dengan demikian, sampel swab sel yang berisi virus corona tidak terambil atau terkontaminasi.

Ketiga, sensitivitas reagen dapat berbeda, terutama untuk pasien yang nilai CQ/CT-nya sudah mendekati 40. Dalam kaitan ini, BIN menggunakan reagen Perkin Elmer (AS), A-star Fortitude (Singapura), dan Wuhan Easy Diag (Tiongkok). Reagen ini lebih tinggi standar dan sensitivitasnya terhadap strain Covid-19 dibandingkan merk lain, seperti Genolution (Korsel) dan Liferiver (Tiongkok) yang digunakan beberapa rumah sakit.

“Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi perbedaan hasil tes. Kasus false positive dan false negative telah banyak dilaporkan di berbagai negara, seperti AS, Tiongkok, dan Swedia,” kata Nuning.

Selain itu, ujar Nuning, dalam menggelar kegiatan tes massal di berbagai lokasi, BIN berkoordinasi dengan pemerintah daerah, termasuk di dalamnya dinas kesehatan serta gugus tugas daerah. Kerja sama itu dilakukan untuk membantu menentukan lokasi yang menjadi klaster penyebaran Covid-19.

Sejak Satgas intelijen medis beroperasi pada April 2020, BIN selalu melaporkan hasil tes usap yang selama ini dilakukan kepada Kementerian Kesehatan dan Satgas Penanganan Covid-19,” ujarnya.

BIN wajib ikut atasi

Polemik soal peran Badan Intelijen Negara (BIN) yang ikut menangani pandemi Covid-19 kembali mencuat. Editorial sebuah majalah nasional menulis bahwa intelijen tidak boleh ikut mengatasi pandemi.

Peneliti Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib mengatakan, justru BIN mempunyai kewajiban untuk ikut mengatasi pandemi ini. “BIN wajib menyelamatkan masyarakat dari ancaman keamanan berupa pandemi. Itu justru amanat UU Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen,” ujar Ridlwan di Jakarta, Senin (28/9/20).

Mobile Laboratorium Covid-19 milik Badan Intelijen Negara (BIN). (Foto: Istimewa)

Disebut Ridlwan, sesuai tugas pokok BIN sebagai lini depan pertahanan nasional, maka lembaga itu boleh membuat Satuan Tugas Penanganan Covid-19. “Aturan pada UU Intelijen terkait ini ada pada Pasal 30, di mana satgas tentu berkualifikasi medis dan sesuai dengan bentuk ancaman,” ujarnya.

Di Amerika Serikat, kata Ridlwan, ada National Centre for Medical Intelligence (NCMI). Lembaga ini bekerja di bawah Defense Intelligence Agence atau Intelijen Kementerian Pertahanan dan juga sedang mati-matian melawan pandemi Covid-19 di AS.

Alumnus S2 ilmu intelijen UI tersebut mengatakan, pandemi Covid-19 sudah merupakan ancaman nasional yang tidak saja melumpuhkan nyawa manusia, namun juga berdampak luas dari sisi ekonomi, politik, dan hubungan internasional.

“Jadi, jangan memahami definisi ancaman secara sempit, seolah-olah intelijen hanya boleh mengurusi penjahat dan teroris. Itu pandangan yang sempit, kuno, dan ketinggalan zaman,” ujar Direktur The Indonesia Intelligence Institute itu.

Ridlwan menjelaskan, setiap kegiatan BIN wajib dilaporkan pada Komisi I DPR sebagai perwakilan rakyat. “Sejauh yang saya dengar, DPR justru mengapresiasi kerja BIN yang memperbanyak tes dan pelacakan di berbagai wilayah di Indonesia,” katanya.

Soal perbedaan hasil tes usap, menurut Ridlwan, sangat mungkin terjadi karena perbedaan alat maupun standar pengukuran load virus. “Jika seseorang diperiksa pada hari Senin masih positif, lalu hasil tes di hari Selasa sudah negatif, itu artinya ada waktu 24 jam yang menentukan kadar sisa virus atau load virus, yang dalam istilah medis disebut Ct,” katanya.

Tindakan BIN yang memperbanyak tes usap dan pelacakan menurut Ridlwan sejalan dengan ide kalangan lembaga swadaya masyarakat dan aktivis kesehatan yang selama ini mendesak pemerintah memperbanyak tes. “BIN tampaknya mendengar saran para social justice warrior (SJW) yang selama ini besuara di media sosial. Ini terobosan yang baik dalam organisasi intelijen,” katanya.

Bahkan, lanjut Ridlwan, Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) akan segera membuka program pendidikan khusus S2 intelijen medis agar para agen BIN lebih terlatih menghadapi pandemi. “Prinsip intelijen harus bisa mengatasi ancaman apa pun di masa depan yang membahayakan keselamatan masyarakat luas. Upaya ini semestinya didukung, bukan justru disalahkan,” kata Ridlwan.

Tjahjo apresiasi BIN

Mantan Anggota Komisi I DPR Tjahjo Kumolo mengapresiasi inisiatif Badan Intelijen Negara (BIN) dalam membantu penanganan Covid-19. Menurut Menteri PAN dan RB tersebut, BIN berkewajiban membantu pemerintah dan siap mendukung seluruh kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengatasi pandemi Covid-19.

Sebab, BIN merupakan lini terdepan dalam keamanan nasional sebagaimana amanat Undang-Undang (UU) 17/2011 tentang Intelijen Negara. “Inisiatif BIN secara proaktif sebagaimana peran Menteri PAN dan RB memberikan guidance kepada seluruh ASN (aparatur sipil negara) merupakan langkah nyata dari unsur-unsur pemerintah menghadapi pandemi Covid-19,” kata Tjahjo, Minggu (27/9/20).

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) Tjahjo Kumolo (Foto: istimewa)

Tjahjo pun menyebut, “Peran BIN dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19 terutama di klaster perkantoran patut kita apresiasi. BIN telah aktif mempercepat penanggulangan penanganan Covid-19. Mulai dari meriset obat Covid-19, membuat proyeksi puncak pandemi hingga menggelar tes polymerase chain reaction (PCR).

Tjahjo menjabarkan pandangannya mengenai peran BIN tersebut. Tjahjo sangat memahami terkait permasalahan akurasi hasil tes PCR oleh BIN. Tjahjo mengungkap, laboratorium BIN dalam melakukan proses uji spesimen menggunakan dua jenis mesin real time PCR. Pertama, jenis Qiagen dari Jerman. KeduaThermo Scientific PCR dari Amerika Serikat (AS).

Keduanya memiliki sertifikat Laboratorium Biosafety Level 2 (BSL-2) yang telah didesain mengikuti standar protokol laboratorium. Selain itu proses sertifikasi dilakukan Lembaga Sertifikasi Internasional, World Bio Haztec (Singapura), dan kerja sama dengan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman. Dengan begitu layak digunakan untuk analisis Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).

Lebih tinggi

Tjahjo menuturkan BIN juga menerapkan ambang batas standar hasil tes PCR yang lebih tinggi dibandingkan institusi/lembaga lain. Tercermin dari nilai Ct qPCR ambang batas bawah 35, tetapi untuk mencegah orang tanpa gejalan (OTG) lolos screening, maka BIN menaikkan menjadi 40. BIN pun melakukan uji validitas melalui triangulasi tiga jenis gen yaitu RNP/IC, N dan ORF1ab.

Tjahjo mengatakan Dewan Analis Strategis Medical Intelligence BIN termasuk jaringan intelijen di WHO, telah menjelaskan fenomena hasil tes swab positif menjadi negatif bukan hal baru. Hal itu dapat disebabkan oleh RNA/Protein yang tersisa (jasad renik virus) sudah sangat sedikit, bahkan mendekati hilang pada threshold, sehingga tidak terdeteksi lagi.

“Apalagi subjek tanpa gejala klinis dan dites pada hari yang berbeda. OTG/asimptomatik yang mendekati sembuh berpotensi memiliki fenomena tersebut. Berikutnya, terjadi bias pre-analitik yaitu pengambilan sampel dilakukan oleh dua orang berbeda, dengan kualitas pelatihan berbeda dan SOP (standar operasional prosedur) berbeda pada laboratorium yang berbeda,” ujar Tjahjo.

Dengan begitu, menurut Tjahjo sampel swab sel yang berisi Covid-19, tidak terambil atau terkontaminasi. Faktor lainnya, sensitivitas reagen dapat berbeda terutama untuk pasien yang nilai Cq/Ct-nya sudah mendekati 40. Dalam kaitan ini, BIN menggunakan Reagen PerkinElmer (AS), A*Star Fortitude (Singapura), Wuhan Easy Diagnosis (Tiongkok).

Reagen ini lebih tinggi standar dan sensitivitasnya terhadap strain Covid-19 dibandingkan merk lain seperti Genolution (Korea Selatan) dan Liferiver (Tiongkok) yang digunakan beberapa rumah sakit (RS). “Dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan uji swab antara lain adalah kondisi peralatan, waktu pengujian, kondisi pasien, dan kualitas test kit,” imbuh Tjahjo.

Tjahjo mengatakan BIN menjamin kondisi peralatan, metode, dan test kit yang digunakan adalah Gold Standard dalam pengujian sampel covid-19. Kasus false positive dan false negatif sendiri telah banyak dilaporkan di berbagai negara seperti AS, Tiongkok, dan Swedia. Pada bagian lain, Tjahjo menuturkan BIN tentu berkoordinasi dengan pemerintah daerah (pemda).

Hal itu terkait pelaporan untuk menggelar kegiatan tes massal di berbagai titik. BIN pun berkoordinasi dengan dinas kesehatan serta Satuan Tugas (satgas) Penganan Covid-19 di daerah. Tujuannya untuk membantu menentukan titik-titik lokasi yang menjadi klaster penyebaran Covid-19. Satgas Intelijen Medis, beroperasi pada April 2020.

Melaporkan hasil

Sejak dibentuk pada April 2020, menurut Tjahjo, Satgas Intelijen Medis selalu melaporkan hasil tes swab yang selama ini dilakukan kepada Kementerian Kesehatan dan Satgas Penanganan Covid-19. Tjahjo menegaskan BIN diberi kewenangan UU 17/2011 untuk membentuk Satgas Intelijen Medis. Ancaman kesehatan, lanjut Tjahjo, tentu bagian dari ancaman terhadap keamanan manusia.

“Dengan dasar tersebut BIN turut berpartisipasi secara aktif membantu Satgas Penanganan Covid-19 dengan melakukan Operasi Medical Intelligence di antaranya berupa gelaran tes swab di berbagai wilayah, dekontaminasi, dan kerja sama dalam pengembangan obat dan vaksin,” ungkap Tjahjo.

Hal serupa, menurut Tjahjo, dilakukan negara-negara lain seperti AS yang memiliki National Center for Medical Intelligence (NCMI). Badan itu melakukan surveillance penyakit menular di dunia. Kemudian juga NATO di Eropa yang melibatkan aktivitas intelijen dalam pengkajian infrastruktur kesehatan.

Tjahjo menyatakan kehadiran Satgas Intelijen Medis telah mendapat apresiasi positif dari kementerian/lembaga (K/L) dan pemda. K/L dan pemda, menurut Tjahjo, menyampaikan permohonan kepada BIN untuk membantu pelaksanaan tracing di wilayah/institusinya dengan melakukan tes swab dengan beban anggaran operasi BIN.

Upaya-upaya yang dilakukan BIN, semata-mata untuk membantu pemerintah dalam percepatan penanganan pandemi Covid-19 antara lain melalui 3T atau testing, tracing dan treatment. Selain itu juga untuk memperbanyak kapasitas tes di Indonesia yang saat ini masih di bawah rata-rata tes harian sebagaimana ditetapkan WHO (1000 tes per 1 juta penduduk).

“Karenanya BIN bekerja sama dengan berbagai lembaga penelitian dan universitas yang memiliki fasilitas laboratorium BSL-2 dan 3 di berbagai daerah. Utamanya yang masuk dalam zona merah Covid-19, untuk meningkatkan kapasitas uji spesimen dengan memberikan berbagai bantuan alat laboratorium,” ujar Tjahjo.

Selain Itu, BIN juga membangun 1 Laboratorium Stasioner Berstandar BSL-2+ dan empat Unit Laboratorium Mobile Berstandar BSL-2. Tujuannya untuk membantu memercepat dan memperbanyak kapasitas tes yang mampu menjangkau zona-zona merah. Sebab sebelumnya zona-zona merah itu tidak dapat dijangkau.

Upaya 3T dimaksudkan untuk mencegah OTG/asimptomatik agar tidak menjadi spreader menjadi perhatian bersama. Selain itu penting juga mengobati pasien Covid-19 kondisi ringan dan sedang yang dideteksi sejak dini dari tes swab. “Jangan sampai stigmatisasi masyarakat yang kuat melekat menjadi bagian dari polemik hasil tes positif-negatif,” tegas Tjahjo.

Tjahjo menilai standar tes tinggi yang dipakai oleh BIN akan memiliki hasil akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. “Karena itu keberadaan BIN dalam mempercepat penanggulangan penanganan Covid-19 sangat diperlukan. Salah satu fungsi BIN adalah mampu mendeteksi segala ancaman terhadap negara, termasuk dalam hal ini ancaman penyebaran Covid-19,” kata Tjahjo.

Tjahjo Kumolo yang juga mantan Menteri Dalam Negeri menyebut, “Data intelijen yang diperoleh di lapangan pada akhirnya penting dalam hal memberi masukan kepada pemimpin negara untuk mengambil kebijakan yang tepat. Sebab sekali lagi hal yang perlu diingat, jika data salah, maka pengambilan kebijakan juga akan salah.” (B-BS/jr)

Exit mobile version