BENDERRAnews.com, 12/3/21 (Jakarta): Prof Roy Sembel, MBA, PhD, pakar keuangan dan investasi dari IPMI Internasional Business School, menilai, persoalan adanya unrealized loss (kerugian yang belum terwujud) dalam kasus BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek, merupakan bagian dari risiko investasi.
Sebab, proses investasi portofolio oleh BP Jamsostek sudah dilakukan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian (prudent). Unrealized loss tersebut tidak logis jika dikategorikan sebagai kerugian hasil manipulasi yang berpotensi pelanggaran pidana.
Disebutnya, tuduhan mengenai adanya pelanggaran pidana di balik unrealized loss BP Jamsostek terkesan dipaksakan. “Seolah-olah sama dengan kerugian yang terjadi dalam kasus Jiwasraya yang menghebohkan beberapa waktu sebelumnya,” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Jumat (12/3/21).
Roy mengkaji penyebab unrealized loss BP Jamsostek dari sisi konteks situasi, kondisi ekonomi dan pasar modal, proses investasi dan alokasi aset, serta perbandingan dengan portofolio dalam investasi pada kasus Jiwasraya.
“Hasil kajian menunjukkan bahwa proses investasi portofolio BPJS-TK sudah prudent dan sesuai kaidah-kaidah investasi. Alokasi aset telah memperhatikan aspek pengelolaan risiko yang relatif baik,” jelas pakar keuangan berpemgalaman internasional ini.
Secara garis besar, lanjut Roy, investasi dimulai dengan strategi mengalokasikan dana investasi ke dalam beberapa kelas aset sesuai tujuan investasi, yaitu saham, reksadana, deposito, obligasi dan bahkan properti serta penyertaan langsung. Selanjutnya di dalam masing-masing kelas aset dilakukan strategi pemilihan sekuritas (securities selection) atau manager investasi yang cocok dengan tujuan investasi.
“Bahkan, dalam pemilihan manager investasi relatif ketat. Syaratnya harus mempunyao dana kelolaan minimal Rp1,5 triliun,” ungkapnya.
Saham dan Reksadana
Berdasarkan data, portofolio investasi sahamnya ditempatkan pada saham-saham LQ-45. Itu artinya portfolio sahamnya dominan terdiri dari saham-saham berkapitalisasi pasar besar dan relatif likuid.
“Tidak perlu diragukan lagi tentang saham-saham LQ-45. Penurunan dan kenaikan harga saham sangat tergantung pada perkembangan pasar modal di Indonesia,” kata Prof Roy yang juga aktif dalam pembinaan sejumlah komunitas dan organisasi, termasuk sebagai Wakil Ketua Dewan Penasihat Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP), karena masih termasuk dalam keturunan keluarga pejuang.
Dalam konteks tersebut, Prof Roy berpandangan, unrealized loss masih sejalan dengan perkembangan pasar saham Indonesia. Hal ini tercermin dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terdampak krisis pandemi dan resesi ekonomi.
Bukti menunjukkan, unrealized loss-nya juga fluktuatif sesuai dengan naik turunnya IHSG. Pada saat IHSG di level 5.979 (31 Desember 2020), unrealized loss mencapai Rp22,308 triliun. Tetapi ketika IHSG di level 6.429 (20 Januari 2021), unrealized loss-nya menurun menjadi Rp14,417 triliun atau 2,91 persen dari total portofolio Rp495 triliun, yang mayoritas disebabkan penurunan kinerja emiten BUMN.
“Naik turun akan terjadi sesuai dengan pergerakan harga saham,” jelasnya.
Bahkan, menurut Roy, bukan tak mungkin ketika IHSG di level 7.000, unrealized loss bisa berbalik arah menjadi unrealized gain (keuntungan yang belum terwujud). Hal ini bisa dilihat naik turunnya potensial loss itu sangat bergantung pada pergerakan IHSG.
Dia mengungkapkan, ada banyak faktor yang menyebabkan naik turunnya harga saham. “Namun yang paling penting sahamnya likuid dan mempunyai kapitalisasi pasar yang besar dan hal itu yang menjadi portofolio saham BP Jamsostek,” katanya.
Sementara untuk portofolio reksadana, dari data yang ada, investasi di reksadana berada pada level 8,1 persen pada akhir 2020. Kisarannya selama 5 tahun terakhir berada pada level 7-9 persen.
“Prinsip diversifikasi telah dijalankan dan tetap memenuhi aturan yaitu maksimum 50% dari total porsi dana, dan maksimum 1persen5 untuk satu manager investasi. Proses dan underlying produk reksadana ini jelas dan berbeda dengan yang terjadi di Jiwasraya,” jelasnya.
Ada reksadana yang di dalamnya BP Jamsostek menjadi mayoritas dan investor tunggal. Roy berpandangan, hal ini bisa terjadi jika ternyata pengelola dana telah menawarkan reksadana secara penawaran umum dan tetap menghasilkan sedikit investor, atau bahkan investor tunggal.
“Hal ini bisa jadi juga karena fee yang ditetapkan oleh BPJS-TK hanya 1%. Ini wajar saja karena portofolionya besar. Sementara di pasar pada umumnya reksadana mengenakan fee sebesar 2-4 persen,” ungkapnya.
Berbeda dengan Jiwasraya
Dengan berbagai kajian tersebut, Prof Roy melihat unrealized loss yang terjadi di BP Jamsostek, berbeda dengan kerugian portofolio investasi pada kasus Jiwasraya. Portofolio saham-saham Jiwasraya, termasuk golongan saham kualitas rendah, tidak likuid, dan mempunyai kapitalisasi pasar yang kecil. “Banyak orang menyebut saham-saham ‘gorengan’,” katanya.
Hal mendasar lainnya, seperti persyaratan pemilihan manager investasi. “Di BPJS-TK sangat ketat, sementara di Jiwasraya longgar,” ujarnya.
Lebih lanjut lagi ada perbedaan dari sisi alokasi aset. Misalnya, porsi saham dan reksadana di Jiwasraya lebih dari 91 persen (31 Desember 2019). Sementara di BP Jamsostek pada 31 Desember 2020 lalu hanya 23,56 persen untuk porsi saham dan reksadana. “Dari data itu jelas terlihat bahwa strategi alokasi aset berbeda di antara keduanya,” jelasnya.
Kondisi makin nyata ketika menengok portofolio saham Jiwasraya dengan BP Jamsostek. “Portofolio saham BP Jamsostek termasuk saham kualitas bagus, likuid dan kapitalisasinya besar. Pendek kata, saham blue chip berfundamental bagus, sehingga berbeda dengan portofolio saham Jiwasraya pada umumnya,” jelasnya.
Dari sisi likuiditas perbedaan juga mencolok. Kondisi likuiditas BP Jamsostek masih likuid, di mana pembayaran klaim masih lancar dan tidak ada gagal bayar seperti yang terjadi di Jiwasraya. Selain itu, selama lima tahun terakhir BP Jamsostek sudah membukukan keuntungan sebesar Rp137 triliun, dan Rp33 triliun di antaranya dari saham dan reksadana.
Selanjutnya, secara keseluruhan kinerja total portfolio BP Jamsostek masih positif dan memberikan imbal hasil di atas rata-rata deposito bank pemerintah. Likuiditas BP Jamsostek masih surplus dan lancar membayar klaim.
Dengan demikian, Prof Roy kembali menegaskan, unrealized loss pada portfolio investasi saham BP Jamsostek berbeda dengan kasus kerugian Jiwasraya. “Unrealized loss BPJS TK adalah wajar sebagai risiko wajar dari investasi saham di pasar modal dan bisa kembali untung saat pasar kembali ke level sebelum pandemi,” katanya lagi.
“Unrealized loss ini tidak logis dikategorikan sebagai kerugian hasil manipulasi yang berpotensi pidana. Lebih pada risiko bisnis yang sudah dikalkulasi dengan baik,” lanjutnya.
Prof Roy Sembel berpandangan, BP Jamsostek dengan dana kelolaan Rp484,38 triliun, merupakan investor institusional dalam negeri yang dapat berperan dalam peningkatan pendalaman pasar finansial di Indonesia. (B-BS/jr)
