Raih gelar doktor, Doni Monardo: “Air sumber kehidupan, sungai adalah peradaban bangsa”

BENDERRAnews.com, 27/3/21 (Bogor): “Air sumber kehidupan, sungai adalah peradaban bangsa. Bagaimana kita bisa dianggap sebagai bangsa yang beradab, ketika mata air kita musnahkan dan sungai kita cemari?”

Demikian DR HC Doni Monardo pada orasi penganugerahan gelar doktor kehormatan (honoris causa/HC) dalam sidang terbuka di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (27/3/21). Sidang terbuka dipimpin Rektor IPB, Arif Satria yang dihadiri, antara lain Menko PMK Muhadjir Effendy dan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong

Dalam orasinya, Doni menyatakan, setelah dilantik sebagai Pangdam III/Siliwangi pada 16 November 2017, dirinya menerima banyak laporan tentang Citarum sebagai sungai terkotor di dunia.

“Ketika pertama kali memberikan pengarahan kepada staf di Makodam III/Siliwangi, saya sampaikan tentang nama besar Siliwangi di berbagai palagan penugasan, baik di dalam maupun luar negeri. Sayang jika nama besar itu hilang karena kita saat ini tidak peduli atas persoalan yang ada di depan mata, yaitu Citarum sebagai sungai terkotor di dunia,” katanya.

Doni menyatakan salah satu “8 Wajib TNI” ialah “Menjadi contoh dan memelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya”. Pada seragam yang dikenakan prajurit Siliwangi, ada simbol harimau atau maung. “Jangan sampai karena kita tidak berbuat sesuatu, maung Siliwangi berubah menjadi meong Siliwangi,” ujarnya.

Pernyataan tersebut membuat prajurit terbakar dan mendidih darahnya untuk bisa memberikan darma bakti terbaik dalam rangka membantu masyarakat di Jawa Barat. Untuk itu, Kodam III Siliwangi bersama dengan tim Kemko Marvest dan Pemprov Jabar, serta Polda Jabar, di bawah bimbingan Menko Marvest Luhut Binsar Pandjaitan berkumpul menghimpun masukan-masukan dari segenap komponen masyarakat, tokoh agama, budayawan, relawan, pegiat lingkungan, bahkan media.

“Tiada hari libur. Setiap hari kami memikirkan strategi menuntaskan masalah kerusakan ekosistem Citarum,” kata Doni.

“Citarum Harum”

Nama “Citarum Harum” dan strategi penanganannya, diusulkan Doni Monardo kepada Gubernur Jabar Ahmad Heriawan dalam perjalanan dari pendopo gubernur menuju Waduk Jatigede pada 28 November 2017. Doni juga melaporkan kepada Presiden Jokowi tentang Citarum pada 4 Desember 2017. Saat Presiden Jokowi bertanya tentang apa yang dibutuhkan, Doni menjawab perlunya payung hukum agar TNI bisa tetap ikut membantu memulihkan Citarum.

Konsep regulasi yang dimotori Dr Dini Dewi didukung tim hukum Sekretariat Negara akhirnya menjadi Perpres Nomor 15 Tahun 2018 tanggal 15 Maret 2018 atau kurang dari sebulan setelah Presiden Jokowi mendeklarasikan program “Citarum Harum” pada 22 Februari 2018 di Situ Cisanti, salah satu mata air purba di Jabar.

Proses penuntasan Citarum diawali dengan pemeriksaan sampel air yang dipimpin Kakesdam III Siliwangi, Kolonel dr Is Priyadi. Hasilnya, air Citarum mengandung logam berat, seperti timbal, Cadmium, serta bakteri Salmonella, Ecoli, dan Pseudomonas Areogonosa. Sayang, dokter Is Priyadi telah wafat tahun lalu dan meninggalkan jasa abadi bagi pemulihan Sungai Citarum.

Tugaskan 20 kolonel

Doni Monardo juga menugaskan 20 kolonel untuk mendata permasalahan dari hulu hingga hilir Citarum, sekaligus meminta masukan dari masyarakat. “Saya terinspirasi oleh Lao Tse, seorang filsuf Tiongkok yang hidup semasa era Sun Tzu 500 tahun sebelum Masehi. Salah satu kutipan yang saya ingat adalah temuilah rakyatmu. Hiduplah dan tinggalah bersama mereka. Berkaryalah dengan mereka. Mulailah dari apa yang mereka miliki. Sampai akhirnya mereka akan berkata ‘kami telah mengerjakannya’,” kata Doni.

Selaras dengan ciri prajurit Siliwangi yang dekat dengan rakyat. Ada istilah pastur atau tepas batur. Istilah ini menjadi modal Doni untuk menyampaikan kepada prajurit, dimana hal pertama yang dilakukan untuk membenahi Citarum ialah mendekati masyarakat untuk mengubah perilaku mereka. Para prajurit pun menginap dan tinggal di rumah-rumah penduduk.

“Kembalikan budaya luhur urang Sunda yang peduli sumber air, sehingga nama sungai diberi awalan ci, yang berarti air, termasuk penghargaan terhadap pohon-pohon besar dengan memberi awalan nama ki, seperti Ki Hujan, Ki Gelia, Ki Sereh, Ki Mani’I, dan Ki Tambleg (Baobab),” katanya.

Lebih jauh Doni menyatakan dirinya juga mendapat kunjungan dan dukungan dari mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Sarwono Kusumaatmadja dan Erna Witoelar, serta tokoh nasional Koentoro Mangkusuboroto yang pernah ditugasi untuk pemulihan Citarum oleh ITB.

“Saya juga menjumpai Menristekdikti, Bapak Muhammad Nasir untuk memberikan masukan tentang pentingnya perguruan tinggi di Jabar melakukan KKN di DAS Citarum, sehingga menristekdikti mencanangkan program KKN tematik di Citarum. Saya juga berkesempatan bertemu dengan Ibu Megawati, presiden RI yang kelima, sebelum beliau menerima penghargaan doktor honoris causa di STPDN. Saya laporkan tentang pemulihan Citarum. Sungai Citarum yang berasal dari nama pohon tarum, akan tetapi pohon tarum sudah tidak ada lagi di sepanjang Sungai Citarum. Sampai akhirnya, Paguyuban Budiasi menemukan pembibitan pohon tarum di Banyumas. Saya menerima masukan dan arahan dari Ibu Megawati tentang pentingnya pendekatan budaya dalam menyelesaikan masalah lingkungan. Berkat kolaborasi para pihak inilah, kualitas air Citarum terus membaik,” papar Doni Monardo.

Pengalaman militer di hutan

Kehadiran pepohonan di Tanah Air dapat mengurangi korban jiwa ketika terjadi bencana. Syaratnya, aneka ragam hayati itu dimanfaatkan secara maksimal. Mitigasi berbasis ekosistem harus menjadi strategi utama dalam menghadapi potensi bencana mengingat Bank Dunia menyebutkan Indonesia salah satu dari 35 negara dengan tingkat risiko bencana tertinggi di dunia.

Hal tersebut disampaikan DR HC Doni Monardo pada orasi penganugerahan gelar doktor kehormatan (honoris causa/HC) berjudul Model Tata Kekola Sumber Daya Alam dan Lingkungan dalam sidang terbuka di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (27/3/21).

Dalam orasi, Doni menyatakan keinginannya mengembangkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tersebut. Hal itu berangkat dari pengalamannya ketika mendapat tugas operasi militer di hutan. “Itu membuat saya mengenali banyak jenis makanan sehingga saya berkomitmen untuk menanam, merawat, dan melestarikan tanaman di mana pun saya berada,” katanya.

Adapun sejumlah kegiatan pelestarian alam yang dilakukan Doni ialah penanaman bibit trembesi di Cikeas pada 2008. selian itu, di Bogor, Cianjur, Sukabumi dan di sepanjang jalan Kota Kudus, Jawa Tengah. Ia juga membagikan 100.000 bibit sengon kepada masyarakat terdampat erupsi gunung Merapi, dan pendirian Paguyuban Budiasi di Sentul, Bogor.

“Budiasi kependekan dari budi daya trembesi. Sampai saat ini paguyuban ini telah menghasilkan 20 juta pohon, terdiri dari 150 jenis pohon termasuk tanaman langka, bahkan kebun bibit budiasi ini sudah dikunjungi Presiden Joko Widodo pada tahun 2014 yang lalu,” urainya.

Pohon mengurangi kerusaksn

Doni menyinggung pentingnya pohon untuk mengurangi kerusakan saat ada bencana alam. Salah satu pohon yang membuatnya tertarik ialah trembesi. Ia menyebut ketika bertugas di Paspampres sering berkunjung ke berbagai daerah.

Disebutnya, di sekitar bangunan pemerintahan peninggalan Belanda ada tiga jenis pohon, yaitu trembesi, asam, dan beringin. “Diperkuat dengan hasil penelitian Dr Endes M Dahlan, dosen Fakultas Kehutanan IPB, yang mengatakan bahwa pohon trembesi adalah penyerap polutan terbaik. Satu pohon trembesi yang lebar kanopinya telah mencapai 15 m, mampu menyerap polutan atau gas CO2 sebanyak 28,5 ton per tahun,” ungkap Doni.

Dikatakan, pohon tersebut termasuk jenis tanaman die hard. Dapat tumbuh di tempat yang tandus dan  lembab atau basah. Termasuk di daerah tropis yang tumbuh hingga ketinggian 600 meter di atas permukaan laut. Oleh sebab itu sangat cocok untuk penghijauan di kota.

Selain trembesi, ia juga membudidayakan pohon endemik langka Indonesia lainnya seperti ulin, eboni, torem, palaka, rao, cendana, dan pule yang sudah sulit ditemukan. “Pohon palaka saya jumpai di Maluku. Usia pohonnya diperkirakan 400 tahun, dengan keliling banjir sekitar 30 rentang tangan orang dewasa, dan ketinggiannya mencapai 40 meter. Demikian juga pule yang saya temukan di Markas Lantamal, Ambon. Diameter batangnya lebih dari tiga meter. Dengan ketinggian sekitar 30 meter. Pohon ini mungkin menjadi salah satu saksi sejarah kejadian gempa dan tsunami yang melanda Ambon pada tahun 1674 sesuai dengan tulisan Rumphius,” ujarnya.

Berkat pengetahuan tentang tanaman, Doni menuturkan terbantu ketika ditugaskan sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Untuk mitigasi daerah longsor dengan kemiringan lereng di atas 30 derajat, bisa menanam beberapa jenis pohon berakar kuat seperti sukun, aren, alpukat, dan kopi.

“Untuk lahan rawan longsor dengan kemiringan yang lebih curam, bisa ditanam vetiver atau akar wangi. Dalam upaya menghindari kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan, bisa menanam pohon Laban, Sagu, dan Aren. Adapun untuk mereduksi dampak tsunami, bisa menanam pohon palaka, beringin, butun, nyamplung, bakau, waru, jabon, ketapang dan cemara udang yang memiliki akar kuat,” demikian Doni Monardo. (B-BS/jr)

Exit mobile version